JAKARTA – Kendala investasi yang mahal dalam pengembangan energi baru terbarukan dinilai bisa diatasi dengan penerapan teknologi.

Rasmus Albildgaard Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, mengatakan Denmark saat memulai revolusi energi menuju green energy juga dibayangi kesulitan pendanaan. Namun teknologi menjadi kunci sehingga investasi dapat makin rendah.

“Tren global sudah banyak perkembangan teknologi yang membuat investasi EBT semakin lama semakin turun. Jadi investasi (EBT) sekarang, solusinya mengambil teknologi dan implementasi yang benar-benar diperlukan,” kata Kristensen dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (23/3).

Kajian Pemerintah Denmark, menyebutkan investasi EBT pada awalnya memang tinggi, tapi setelah berjalan nanti tidak ada lagi biaya yang dikeluarkan. Berbeda dengan pembangkit fossil seperti batu bara yang perlu perawatan dengan biaya tinggi.

Pembangkit batu bara dengan teknologi super critical memerlukan investasi US$33 per KWh, biaya operasional dan maintenance US$7 per KWh, dan biaya bahan bakar US$34 per KWh.

Untuk pembangkit EBT, investasi mini hydro per KWh memang lebih besar, yakni US$63 dan biaya perawatan US$13, namun tidak perlu lagi biaya bahan bakar sama sekali. Demikian juga pembangkit listrik tenaga matahari atau  surya (PLTS) investasi per KWh sebesar US$60 dan biaya operasional dan perawatan US$9, namun tidak ada biaya lainnya.

Hal ini tentu membuat pengembalian modal bisa lebih cepat karena setelah beroperasi, pembangkit tidak memerlukan banyak biaya.

Kristensen mengakui target EBT sebesar 23% dalam energy mix di Indonesia cukup ambisius dan pasti akan banyak tantangan.

Soren Mensal Kristensen, Head of Energy Corporation, mengungkapkan salah satu fungsi pemerintah adalah sebagai regulator, sehingga wajar jika terus didorong untuk berkomitmen dalam target bauran energi mix. Untuk itu, regulasi yang ada harus dibuat seatraktif mungkin dan tepat sehingga tidak perlu mengalami revisi berulangkali.

“Tentu investor dalam berinvestasi membutuhkan kepastian dalam berbisnis, dan itu tidak akan tercermin jika regulasi berulang kali direvisi dalam waktu singkat, ” kata dia.(RI)