JAKARTA – Pemerintah diminta untuk segera menengahi konflik antara kabupaten Maluku Barat Daya dan Maluku Tenggara yang memperebutkan lokasi pengembangan Blok Masela. Jika kondisi ini terus terjadi dikhawatirkanakan semakin membuat Idonesia tidak menarik di mata investor.

“Pembangunan  infrastruktur harus masuk di master plan pengembangan negara dan salah satunya adalah yang termasuk dalam pengembangan Masela sehingga antara kabupaten harus saling mempunyai pengertian satu dan yang lain,” kata Satya Yudha, Anggota Komisi VII DPR saat dihubungi Dunia Energi.

Menurut Satya, wajar Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menjadi penengah dalam kasus ini. Karena tugas dan fungsi Kemendagri adalah untuk membagi wilayah dan sistem, serta ikut berperan dalam penentuan bagi hasil kekayaan sumber daya alam di suatu wilayah.

“Sebenarnya ini bukan fungsi atau tugas dari SKK Migas. Mereka (SKK Migsa) tugasnya mengawasi kontraktor harusnya itu jadi kewenangan Kemendagri,” tegasnya.

Lebih lanjut, Satya menyatakan dalam kasus perebutan wilayah ini sebenarnya pemerintah bisa mencontoh beberapa lokasi lain yang menjadi wilayah eksplorasi dan eksploitasi migas, salah satunya adalah yang terjadi di BlokCepu, Jawa Timur. “Masalah pembagian hasil ini bisa saja meniru Bojonegoro dan Tuban. Iti bisa dijadikan contoh dua kabupaten yang terimbas dari investasi Exxon” tukasnya.

SKK Migas sebelumnya menyatakan kekhawatiran akan mundurnya revisi plan of development (PoD) Blok Masela akibat adanya konflik sosial ini. Taslim Z Yunus, Kepala Bagian Humas SKK Migas, mengatakan perebutan wilayahlokasi blok mengakibatkan akselerasi percepatan revisi sulit dicapai.“Yang satu minta dan yang lain juga. Kalau sudah begini harus adaintervensi, Kemendagri yang putuskan,” tandasnya.(RI)