JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) mengakui masih banyak hambatan dalam tata kelola migas yang menyebabkan investor juga berpikir dua kali untuk menanamkan modal.

Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, mengatakan salah satu kelemahan tata kelola migas yang saat ini dihadapi adalah lamanya waktu atau proses kontrak dari satu fase ke fase berikutnya. Hal ini sangat jauh berbeda ketika di masa keemssan industri migas Indonesia sekitar tahun 1960-an yang berhasil menemukan banyak penemuan cadangan besar dengan waktu pengurusan kontrak yang relatif lebih singkat.

“Makin ke sini, waktu untuk mengurus kontrak, PoD (plan of development) dan  makin panjang. Jarak dari discovery ke PoD terlalu jauh dan panjang, namun yang ditemukan cadanagannya kecil,” kata Amin di sela diskusi dalam Forum Indonesia Petroleum Association (IPA) 2016 di Jakarta, Kamis (26/5).

Menurut Amien, panjangnya proses kontrak migas juga dialami PT Pertamina (Persero). Meskipun Pertamina begitu aktif di sektor hulu, namun perusahaan pelat merah itu belum lagi menemukan cadangan migas yang besar.

“Pertamina discovery besar terakhir itu pada 1974. Sekarang penemuannya banyak, tapi cadangannya kecil-kecil. Jadi reserve Indonesia juga kecil,” tukasnya.

Untuk itu, lanjut Amien, SKK Migas akan segera mengimplementasikan inovasi dengan percepatan kepengurusan kontrak blok migas.

“Struktur SKK Migas memang belum sepenuhnya cocok untuk itu. Tapi SKK Migas ingin meningkatkan level. Jadi yang level pejabat tinggi yang biasa di Jakarta bisa ke daerah biar komunikasinya bagus dengan kepala daerah setempat.” ungkapnya.

Menurut Amien, dengan lebih memperhatikan alur birokrasi yang tidak berbelit dan peningkatan komunikasi serta koordinasi diyakini pengurusan masalah kontrak blok migas akan lebih cepat selesai.(RI)