JAKARTA – Survei yang dilakukan Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) bekerjasama dengan PwC Indonesia mengindikasikan kebijakan kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) yang lebih andal dan alokasi risiko yang lebih berimbang dalam perjanjian jual beli listrik akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan elektrifikasi dan keandalan pasokan.

“Selain itu, responden menekankan bahwa pemisahan kegiatan pembangkitan, transmisi dan distribusi dan liberalisasi pasar ketenagalistrikan akan memiliki dampak positif terhadap peningkatan elektrifikasi dan keandalan pasokan,” ungkap Yanto Kamarudin, Power & Utilities Partner PwC Indonesia.

Yanto menambahkan sistem ketenagalistrikan di Indonesia akan tetap terhambat sampai terbentuknya kerangka model investasi yang lebih menarik dan kepastian regulasi yang lebih baik.

Survei juga mengungkapkan adanya permintaan dan teknologi yang membentuk lanskap industri ketenagalistrikan.

Lebih dari separuh peserta survei yang berasal dari pelaku usaha, telah mengidentifikasi tiga megatren global sebagai faktor-faktor penting yang mempengaruhi sektor ketenagalistrikan Indonesia, yaitu pertumbuhan penduduk, pembangunan kota-kota megapolitan dan disruptive technologies.

Seiring pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, permintaan pasokan listrik di Indonesia secara year-on-year terus mengalami pertumbuhan, sehingga Indonesia tengah menghadapi permintaan pasokan listrik yang sangat besar.

Menurut Yanto, para responden survei juga menyoroti peluang-peluang di luar pembangkit, transmisi dan distribusi listrik terpusat, yang didorong oleh peralihan ke arah energi terbarukan.

“Solusi mini-grid dan off-grid semakin relevan untuk negara kepulauan yang wilayahnya tersebar luas seperti Indonesia. Meskipun demikian, beberapa isu terkait dengan tarif, model usaha, lokasi usaha dan penerimaan masyarakat setempat masih menjadi tantangan,” ungkap Yanto.

Terungkap juga, bahwa baik pemerintah maupun industri sangat mengetahui adanya Trilema Energi trade-off antara keamanan, keterjangkauan dan kesinambungan pasokan. Para peserta survei menetapkan keamanan pasokan sebagai prioritas utamanya di tahun 2016, disusul ketat oleh keterjangkauan, kemudian keberlanjutan (energi bersih).

Yanto menambahkan, dengan adanya prioritas-priorias ini akan terlihat fokus kebijakan tetap berada pada pembangunan PLTU yang menggunakan batu bara (yang volumenya melimpah dan harganya murah di Indonesia) dalam jangka pendek, sejalan dengan bauran energi untuk Program 35GW yang sekitar 60% di antaranya merupakan pembangunan PLTU.

Namun, prioritas ini bergeser ketika para responden survei memandang dalam lima tahun ke depan, dimana keberlanjutan diharapkan menjadi isu yang lebih diprioritaskan daripada keamanan pasokan. Hasil ini kembali mendukung potensi perpindahan menuju pemakaian energi terbarukan dalam satu dekade ke depan.

Berdasarkan hasil survei, sektor ketenagalistrikan di Indonesia menghadapi tantangan-tantangan dalam aspek yang berbeda.

“Pada saat yang sama, rasa optimis masih ada dengan banyak peluang yang terbuka, dan hasil survei kami menunjukkan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan di masa depan,” tandas Yanto.(RA)