JAKARTA – Sistem tata kelola minyak dan gas yang berlaku saat ini dinilai akan menyulitkan upaya pemerintah untuk menekan biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery). Pasalnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) sebagai lembaga pengawas kegiatan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), namun bukan badan usaha memicu potensi kesalahan melakukan kesepatan dalam rencana pengembangan (plan of development/PoD).

Suasana di lobi kantor SKK Migas, lantai 35 Wisma Mulia, Jl Gatot Subroto kav. 42, Jakarta.

“Kuncinya ada di peran SKK Migas. Misalnya saat pelaku usaha ajukan PoD untuk beli pipa, karena bukan pelaku cenderung feeling-nya kurang pas jadi masih mencari referensi lain. Arti bisa saja harganya yang disepakati terlalu kecil atau kemahalan,” kata Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute kepada Dunia Energi, Kamis  (20/10).

Menurut Komaidi, dalam mencari referensi atau pembanding sebagai bahan dalam persetujuan PoD, SKK Migas kerap kali mendapatkan info dari luar, sehingga aspek validitas dan aspek ketepatan penggunaan referensi berbeda dengan kondisi industri migas di tanah air.

“Jika di Arab mungkin bisa diaplikasikan di Indonesia, tapi jika negara lain belum tentu. Ini sebenarnya  case by case, sehingga masalahnya kembali lagi ada di UU Migas,” ungkap dia.

Komaidi menilai kehadiran Arcandra Tahar sebagai Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan mencari celah untuk menurunkan cost recovery belum tentu serta merta efektif. Pasalnya, Arcandra selama ini bekerja di Amerika Serikat yang pastinya memiliki perbedaan dari sisi geologi dan regulasi dengan Indonesia.

“Saya kira beliau orang baru di Indonesia  bahwa dia ahli di bidang offshore, iya. Tapi praktek selama ini kan di Amerika, kondisi geologi maupun birokrasi antara Amerika dan Indonesia kan berbeda jadi masih harus duji dalam beberapa bulan ke depan,” tandas Komaidi.

Arcandra sebelumnya menyatakan upaya menekan cost recovery bisa dilakukan saat PoD yang belum ditandatangani, seperti Blok Masela dan East Natuna.

“Saya akan berdiskusi dengan Menteri ESDM untuk mencari ruang untuk menguranginya. Nanti oleh tim akan dilihat lagi, mana porsi-porsi yang bisa dilakukan penurunan,” kata Arcandra.(RI)