JAKARTA- Pemerintah menyatakan, dari 11 industri yang perlu disubsidi hanya tiga industri yang diprioritaskan untuk mendapatkan penurunan harga gas, yaitu industri, yakni pupuk, petrokimia dan baja karena tiga industri tersebut mempunyai nilai tambah di hilir yang besar. Luhut B Pandjaitan, Menko Maritim, mengatakan fokus penurunan harga gas untuk tiga industri tersebut dilakukan berdasarkan dua kriteria.

Pertama, penurunan harga gas harus menciptakan efek berganda yang lebih besar di sektor hilir dalam penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan pendapatan negara. Kedua, penurunan harga gas industri dapat mengakibatkan penurunan harga produk yang dikonsumsi oleh konsumen akhir atau mengurangi subsidi negara. “Terlebih, ketiga industri tersebut juga menempatkan gas sebagai komponen biaya utama dalam produksinya, yakni sekitar 70 persen,” ujar Luhut.

Luhut menjelaskan, harga gas di Indonesia tidaklah buruk. Berdasarkan data yang dihimpunnya, harga gas di tempat (landed gas) Indonesia sekitar US$4,22 per MMBTU tidak jauh berbeda dengan China, Korea, dan Jepang yang juga masih berkisar US$4,4 – 4,5 per MMBTU.

Namun, lanjut Luhut, harga gas pipa di Indonesia diformulasikan berdasarkan harga keekonomisan di level hulu dengan eskalasi peningkatan harga yang tetap setiap tahunnya sehingga harga gas industri di Indonesia tidak tergantung dari harga minyak dunia.
Akibatnya, saat harga minyak turun, harga gas di level industri di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan harga gas di negara lain yang mengacu ke harga minyak.

“Kalau kita bandingkan dengan Malaysia yang sekitar 4 dolar AS/MMBTU, kenapa lebih murah? Ternyata disubsidi di mana bagian hulunya tidak diambil pemerintah. Makanya kita sedang pikirkan bagian mana yang bisa kita terapkan seperti itu,” katanya seperti dikutip Antara.

Dengan pola serupa Malaysia, Luhut mengaku terus melakukan upaya untuk menekan harga gas industri sesuai permintaan Presiden Jokowi.

Dia mengatakan struktur harga gas di Indonesia 60 persennya dipengaruhi oleh sektor hulu, 22 persen di transmisi dan sisanya pada tataran distribusi dan niaga. Karena itu, upaya-upaya yang akan dilakukan antara lain melakukan efisiensi di sektor hulu, terutama di “cost recovery” (biaya yang harus diganti pemerintah untuk eksplorasi dan produksi).

“Kita coba efisienkan di hulu. Biaya di hulu kami coba break down (bahas rinci) item mana saja yang bisa dikurangi. Pasalnya per daerah itu berbeda. Kesulitan tempat seperti laut dalam akan beda dengan darat atau lainnya,” jelasnya.

Upaya lain, yakni penurunan bagian pemerintah pada kontrak bagi hasil (PNBP atau pajak), efisiensi pada biaya transmisi (toll fee, regasifikasi dan pencairan gas) serta efisiensi pada biaya distribusi (menghilangkan trader-trader gas yang tidak memiliki infrastruktur). “Distribusi kita enggak mau lagi ada orang enggak punya gas tapi punya pipa. Jadi satukan (merger) Pertagas dan PGN sehingga harga gas bisa berkisar 6-7 dolar AS/MMBTU,” ujarnya.

Luhut juga menyebut pemerintah tengah memimbang sistem distibusi gas berdasarkan zonasi agar ada efisiensi dari segi transportasi. Sistem zonasi itu pula yang nantinya dapat membuka peluang impor gas dari Brunei Darussalam, Malaysia atau Timur Tengah ke wilayah Sumatera yang harga gasnya tinggi.

“Sekarang sedang dikaji. Itu jarak Bintuni (Papua) ke Lhokseumawe (Aceh) 8 jam dengan pesawat terbang. Kalau bisa gasifikasi di Lhokseumawe dan lebih murah gasnya dari Brunei, kenapa tidak ambil (impor) saja. Kami jelajah kemungkinan itu agar harga gas turun,”  katanya. (DR)