JAKARTA – Kebijakan strategis dinilai perlu dikeluarkan dalam upaya memenuhi target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Kebijakan strategis tersebut antara lain financing and investment, regulatory framework, serta penguasaan teknologi.

“Untuk mewujudkannya, diperlukan penerapan feed in tarrif (FIT),  dalam pengembangan EBT diperlukan partisipasi masyarakat, dan disentralisasi perencanaan kebijakan EBT,” kata Syamsir Abduh, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) kepada Dunia Energi.

Syamsir mengungkapkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik bertujuan untuk menurunkan biaya pokok produksi (BPP) energi baru terbarukan, agar efisien dan memenuhi kebutuhan energi bagi daerah yang tidak memiliki atau kekurangan energi. Meskipun ada persepsi yang berkembang khususnya para pengembang bahwa Permen tersebut dapat menimbulkan kesan kontradiktif antara capaian ambisius target dalam bauran energi dengan upaya mendorong pemanfaatan EBT.

Syamsir menjelaskan, Permen ESDM 12/2017 memberikan peluang bagi pengembang untuk mendapatkan profit melalui penetapan harga EBT 85 persen dari BPP yang berlaku di suatu lokasi. Bahkan, di wilayah yang BPP PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) yang paling rendah sekalipun misalnya di Pulau Jawa (Rp 900/kWh), dengan cara menetapkan harga sama dengan BPP nasional (Rp 1400/kWh). Tambahan profit juga dapat diperoleh dari upaya efisiensi.

“Leadership commitment sangat diperlukan bagi capaian target EBT termasuk penerapan konsistensi kebijakan (istiqomah) pengembangan EBT jangka panjang. Beberapa kebijakan pemerintah yang memerlukan konsistensi, misalnya program Indonesia terang, desa mandiri energi dan lainnya,” tandas Syamsir.(RA)