JAKARTA– PT PLN (Persero), badan usaha milik Negara di sektor ketenagalistrikan, mencatatkan peningkatan penjualan sepanjang semester I 2017 sebesar 13,22% atau Rp 13,8 triliun menjadi Rp 118,5 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 104,7 triliun. Sedangkan laba bersih perseroan sepanjang periode Januari-Juni 2017 tercatat Rp 2,3 triliun, masih lebih rendah dibandingkan laba pada periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, laba bersih sebelum pajak, depresiasi dan amortisasi (Earning Before Interest, Tax, Depreciation & Amortisation/EBITDA) pada Semester I 2017 sebesar Rp32,82 triliun, naik sebesar Rp2,3 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp30,42 triliun. Hal ini menunjukkan peningkatan kemampuan PLN dalam berinvestasi dengan dana internal dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.

Sarwono, Direktur Keuangan PLN, mengatakan pertumbuhan penjualan ini berasal dari kenaikan volume penjualan menjadi sebesar 108,4 Terra Watt hour (TWh) atau naik 1,17% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 107,2 TWh. Sedangkan penurunan laba bersih disebabkan beberapa hal yang bersifat incidental, yaitu meningkatnya beban lain-lain di luar operasi yang bersumber dari beban tahun 2013 sebesar Rp 3,1 triliun, serta berkurangnya pendapatan selisih kurs sebesar Rp2,1 triliun.

“Kinerja operasi semester I 2017 sih lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dengan meningkatnya Laba Operasi sebesar Rp 2,0 triliun atau meningkat 12,84% dibanding periode Juni 2016 sehingga menjadi Rp17,6 triliun,” ujar Sarwono dalam keterangan resmi yang diterima Dunia-Energi, Kamis (27/7).

Menurut Sarwono, pada semester I 2017, penjualan PLN meningkat sejalan dengan keberhasilan PLN selama semester pertama tahun 2017 menambah kapasitas pembangkit sebesar 1.663 MW yang berasal dari Pembangkit PLN sebesar 463 megawatt (MW) dan tambahan kapasitas dari Independent Power Producer (IPP) sebesar 1.199 MW, serta menyelesaikan 1.489 kilometer sirkuit (kms) jaringan transmisi dan Gardu Induk sebesar 5.750 MVA. Peningkatan konsumsi kWh ini juga didukung dari adanya kenaikan jumlah pelanggan dimana sampai dengan akhir semester I 2017 mencapai 65,9 juta atau bertambah 1,6 juta pelanggan dari akhir tahun lalu sebesar 64,3 juta pelanggan. “Kenaikan konsumsi kWh tersebut didominasi oleh konsumsi listrik di golongan tarif industri,” katanya.

Sarwono mengatakan, bertambahnya jumlah pelanggan juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 91,16 % pada 31 Desember 2016 menjadi 92,79% pada 30 Juni 2017. Meskipun pada paruh pertama 2017 beberapa kondisi makro yang mempengaruhi penyesuaian tarif tenaga listrik yaitu Kurs Dollar Amerika, Indonesia Crude Price (ICP) dan/atau Inflasi mengalami kenaikan dibanding dengan acuan APBN, demi mendukung kepentingan masyarakat serta untuk menjaga agar sektor Bisnis dan Industri tetap kompetitif, PLN memutuskan untuk tidak menaikkan tarif.

“Kami melakukan efisiensi pada beberapa elemen biaya operasi yang berada dalam kendali perusahaan, untuk menutup kekurangan marjin usaha tersebut,” kataya.

Seiring dengan meningkatnya produksi listrik, beban usaha PLN pada Januari-Juni 2017 naik sebesar Rp9,2 triliun atau 7,65% menjadi Rp128,9 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp119,7 triliun.

Kenaikan beban usaha terbesar adalah pembelian tenaga listrik yang meningkat sebesar Rp6,7 triliun (24%) dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sehingga menjadi Rp34,6 triliun. Selain itu, beban bahan bakar juga meningkat sebesar Rp3,2 triliun dari Rp52,0 triliun pada Juni 2016 menjadi Rp55,3 triliun pada Juni 2017.

“Penyebab utama kenaikan beban pembelian tenaga listrik dan beban bahan bakar ini adalah naiknya harga rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) sebesar 35,22% yang mendorong kenaikan harga BBM, dan naiknya rata-rata Harga Batubara Acuan (HBA) sebesar 58,61% yang mendorong kenaikan harga batubara,” ujar dia. (DR)