JAKARTA– Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc memproyeksikan penjualan emas dan tembaga dari tambang Grasberg di Papua yang dikelola oleh anak usahanya, PT Freeport Indonesia, turun sepanjang Januari-Maret 2017. Richard Adkerson, President dan CEO Freeport-McMoRan, mengatakan penurunan penjualan tersebut akibat penghentian operasi sejak 12 Januari 2017 dan penghentian (shut down) pabrik pemurnian dan pengolahan PT Smelting di Gresik, Jawa Timur yang menolah emas dan tembaga dari tambang Freport selama enam mingu sejak 19 Januari 2017.

Berdasarkan keterbukaan informasi Freeport-McMoRan yang disampaikan kepada Bursa New York pada 25 April, tambang Grasberg sepanjang kuartal I 2017 mencatatkan produksi tembaga sebanyak 155 juta pound, turun dari 165 juta pound pada kuartal I 2016. Semenara itu, produksi emas menjadi 232 ribu ounce dibandingkan periode sama 2016 sebesar 178 ribu ounce.

Sementara itu, penjualan tembaga tercatat 125 juta pound, turun dari 174 jua pound. Sedangkan penjualan emas sebear 177 ribu ounce, juga turun dari 195 ribu ounce. Dengan asumsi harga jual rata-rata tembaga perseroan pada kuartal I 2017 sebesar US$ 2,63 per pound, Freeport mengeruk pendapatan dari penjualan tembaga sebesar US$ 328,75 juta, lebih rendah dari kuartal I 2016 sebesar US$ 382,8 juta kendati harga jual tembaga hahya US$ 2,20 per pound.

Adapun penjualan emas Freeport dari Papua tercatat sekitar US$ 217,53 juta dengan asumsi harga jual rata-rata emas perseroan pada periode Januari-Maret 2017 sebesar US$ 1.229 per ounce, dibandingkan periode sama 2016 sebesar US$ 239,46 juta kendati harga jual emas US$ 1.228 per ounce.

Adkerson memproyeksikan penjualan tembaga dan emas dari Freeport Indonesia tahun ini akan sesuai proyeksi dengan kecenderungan naik dibandingkan 2016. Penjualan tembaga diproyeksikan 1,1 miliar pound pada tahun ini sedangkan emas 1,9 juta ounce. Penjualan tembaga relatif stagnan dibandingkan tahun lalu, namun penjualan emas naik dari 1,1 juta ounce.

“Produksi dan penjualan tambang Papua bergantung pada banyak faktor, termasuk performa operasi, produktivitas pekerja, waktu pengapalan, dan keberlanjutan ekspor konsentrat tembaga,” ujar Aderskon seperti dikutip dari laman Freeport-McMoRan.

Freeport McMoRan melalui Freeport Indonesia telah memproses izin ekspor konsentrat tembaga dari Kementerian Perdagangan setelah memperoleh rekomendasi dari Kementerian ESDM. Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan rekomendasi itu menjadi dasar bagi Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor.

Oke menuturkan masa berlaku izin ekspor konsentrat sesuai dengan rekomendasi dari Kementerian ESDM. Hanya saja dia enggan membeberkan berapa lama masa berlaku yang direkomendasikan tersebut.

Riza Pratama, Juru Bicara Freeport Indonesia, mengatakan pihaknya sudah meneruskan rekomendasi izin ekspor dari Kementerian ESDM ke Kementerian Perdagangan. Dia berharap izin ekspor bisa segera terbit.

Dia menjelaskan izin ekspor hanya berlaku selama enam bulan. Nantinya akan ada evaluasi lebih lanjut. Namun dia enggan menjelaskan evaluasi yang dimaksud. Dia hanya menyebut kuota ekspor yang direkomendasikan oleh ESDM mencapai 1,1 juta ton konsentrat.

Rekomendasi izin ekspor Freeport kali ini berbeda dengan rekomendasi yang diterbitkan Kementerian ESDM pada 17 Februari 2017. Perbedaannya terletak pada periode berlaku rekomendasi ekspor. Merujuk pada surat tertanggal 17 Februari itu rekomendasi diberikan untuk satu tahun. Namun kuota ekspor konsentrat yang diizinkan tetap sama sekitar 1,1 juta ton.

Freeport tidak bisa ekspor konsentrat sejak pertengahan Januari karena pemerintah menerbitkan kebijakan teranyar yang melarang pemegang Kontrak Karya untuk ekspor konsentrat. Hanya pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri dapat ekspor hingga lima tahun ke depan. Pemegang KK bisa ekspor konsentrat lagi bila beralih menjadi IUPK.

Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu bersedia menjadi IUPK. Hanya saja dalam enam bulan ke depan dilakukan negosiasi terkait stabilitas fiskal dan jaminan hukum. Pasalnya Freeport menginginkan ketentuan dalam KK dituang dalam IUPK.

Jika pada Oktober nanti tidak tercapai kesepakatan dengan pemerintah maka Freeport dapat kembali ke KK. Hal ini merujuk pada nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) yang diteken Freeport dan ESDM.

Dalam MoU itu pun disebutkan bea keluar yang dikenakan bagi Freeport sebesar 5 persen. Besaran bea itu berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 13 / PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. PMK 13 tersebut mengatur pengenaan bea keluar merujuk pada progres pembangunan smelter. (DR)