Smelter pengolahan nikel PT Aneka Tambang.

JAKARTA – Pengusaha tambang mineral ternyata tak pernah menyanggupi tenggat waktu lima tahun, untuk dapat melaksanakan program nilai tambah lewat pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, seperti yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Kenyataan ini bertentangan dengan keterangan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dede I Suhendra kepada Dunia Energi, bulan lalu.

Kepada Dunia Energi Dede mengatakan, perhitungan lima tahun bukan dari langit. Tetapi berdasarkan pernyataan kesanggupan para pengusaha tambang mineral di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Penyusunan UU Minerba. (Lihat: Dede Suhendra: Perhitungan Lima Tahun Bukan Dari Langit. Link: https://www.dunia-energi.com/dede-suhendra-perhitungan-lima-tahun-bukan-dari-langit/).

Ketua Working Group Komite Bidang Hukum, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Hendra Sinadia mengaku, ikut serta dalam rapat antara para pengusaha mineral dan anggota DPR, terkait penyusunan UU Minerba. Saat itu, pengusaha diwakili oleh asosiasi, diantaranya PERHAPI, Indonesian Mining Association (IMA), dan beberapa asosiasi yang lain.

“Saya ingat betul waktu itu, PERHAPI mengusulkan tujuh tahun waktu yang realistis bagi pelaku industri pertambangan membangun smelter, yang dibutuhkan untuk mengolah bijih atau konsentrat mineral di dalam negeri. Asosiasi yang lain juga mengusulkan waktu diatas lima tahun. Tidak ada yang mengusulkan bisa membangun smelter dalam lima tahun,” ujar Hendra di Jakarta pekan lalu.

Maka dari itu, ia mengaku heran ketika UU Minerba sudah terbit, disebutkan dalam UU itu kewajiban mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri harus dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun, setelah UU Minerba diterbitkan. Akibatnya seperti yang sudah diduga, ketentuan UU Nomor 4/2009 itu hampir pasti tidak dapat dilaksanakan.

Ketua Umum PERHAPI, Achmad Ardianto menuturkan, kalau hanya untuk membangun smelternya, mungkin waktu lima tahun cukup. Namun sebelum smelter dibangun, dibutuhkan persiapan diantaranya studi kelayakan, financing (mencari pendanaan, red), dan pembebasan lahan, yang rata-rata memakan waktu hingga enam tahun.

Ketua Working Group Komite Bidang Kebijakan PERHAPI, Budi Santoso menambahkan, kewajiban nilai tambah mineral sulit dilaksanakan oleh para pengusaha, karena kebijakan waktu yang diberikan memang tidak realistis. Meski pemerintah sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Percepatan  Nilai Tambah Mineral di Dalam Negeri, tetap mustahil akan ada smelter baru mineral yang berdiri hingga 2014 nanti.

Budi juga mengkritik anjuran pemerintah yang terkesan menggampangkan masalah. Yakni pengusaha tambang mineral diminta menitipkan hasil galiannya, untuk diolah oleh smelter yang sudah existing (beroperasi). “Ini tidak mudah, karena tiap-tiap mineral mempunyai karakteristik yang berbeda, meski jenis mineralnya sama. Biarpun sama-sama nikel, belum tentu bisa diolah oleh smelter nikel yang sudah berdiri dan beroperasi saat ini, karena karakteristik mineralnya berbeda,” jelas Budi.

Selain itu, tambahnya, suatu proses dalam kegiatan usaha pertambangan, tidak bisa dipercepat sesuka hati. Karena sejak penyelidikan umum, eksplorasi, hingga produksi dan pengolahan, tahapan waktunya sudah jelas. “Jadi kami menilai, pemberian tenggat lima tahun untuk membangun smelter atau mengolah mineral di dalam negeri itu, cacat konsep,” tandasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)