JAKARTA– Koalisi asosiasi produsen biodiesel Amerika Serikat (AS) atau National Biodiesel Board Fair Trade Coalition (NBB) mengajukan petisi tuduhan antidumping dan subsidi atas biodiesel dari Indonesia dan Argentina.

Petisi yang diajukan NBB yang terdiri atas National Biodiesel Board (Dewan Biodiesel AS) ditambah 15 produsen biodiesel AS itu diajukan kepada Kementerian Perdagangan AS dan Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC) pada23 Maret 2017.

Donnell Rehagen, CEO National biodiesel Board, mengatakan NBB dan industri biodiesel AS berkomitmen untuk melaksanakan perdagangan secara fair. Mereka mendukung hak-hak produser dan pekerja biodiesel untuk bersaing pada level yang setara.

“Ini adalah kasus yang sederhana dimana Argentina dan Indoensia mendapat keuntungan dengan mengambil kesempatan dari hukum dagang AS dan mengonternya melalui persaingan yang sehat. NBB berkepentingan soal ini karena produksi biodiesel AS melibatkan lebih dari 50 ribu pekerja dengan risiko tinggi karena praktik pasar yang tidak fair,” kata Rehagen dalam siaran persnya.

Ada tiga isi petisi yang disampaikan oleh NBB dan produsen biodiesel di AS. Pertama, menuduh Indonesia dan Argentina melakukan subsidi dan dumping.

Kedua, meminta pemerintah AS untuk melakukan investigasi tindakan antisubsidi dan dumping. Ketiga, meminta pemerintah AS mengenakan bea masuk tarif tinggi atas biodiesel Indonesia dan Argentina. Menurut NBB, impor biodiesel dari Argentina dan Indonesia sejak 2014 sampai 2016 capai 464%, pertumbuhanya mencapai 18,3% dari pangsa pasar industri manufaktur AS.

“Tujuan kami dengan petisi ini adalah memberikan kesempatan kepada pasar untuk menjual produk secara secata, konsumen dan peritel dapat mengakses harga dengan benefit yang benar dan kompetisi yang sehat,” kata Rehagen.

Paulus Tjakrawan, Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), mengatakan petisi NBB dan produsen biodiesel AS itu menambah rintangan para eksportir biodiesel. Apalagi ekspor biodiesel Indonesia ke AS sangat besar karena di Eropa dibatasi akibat adanya bea masuk dumping.

Menurut Paulus, salah satu yang dijadikan alasan NBB adalah adanya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Apalagi, BPDP membayar selisih harga solar dan crude palm olil (CPO) serta sejumlah kemudahan ekspor biodiesel yang diberikan pemerintah Indonesia. Beleid ini dinilai membuat harga biodiesel Indonesia lebih murah sekitar Rp 4.500 per kilogram atau US$ 30 sen-US$ 40 sen dibandingkan harga minyak bumi berbahan baku fosil.

Berdasarkan data NBB, dalam tiga tahu terakhir ekspor biodiesel Indonesia ke AS meningkat signifikan. Tahun lalu, ekspor biodiesel Indonesia mencapai 111,27 juta galon, 2015 mencapai 71,03 juta galon, dan 2014 sebesar 51,28 juta galon. Satu galon biodiesel setara dengan 3,875 liter.

Paulus mengatakan, NBB berusaha melakukan proteksionisme dan menghalangi industri biodesel di Indonesia. Karena itu, menurut dia, Aprobi akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan diplomasi.

“Di tengah kita sedang berjuang untuk memenangi gugatan melawan Uni Eropa di WTO, eh muncul kasus ini. Kendati AS semula bersikap netral, bisa saja nanti berubah sikap,” katanya dalam siaran persnya.

Sahat Sinaga, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengatakan target ekspor biodiesel tahun ini sebesar 500.000 ton akan sulit tercapai apabila isi petisi disetujui pemerintah AS.

Hambatan perdagangan pemerintah Donald Trump akan terus muncul agar harga sawit tidak lagi kompetitif. menurut Sahat, upaya proteksionisme ini dilakukan karena harga kedelai sulit bersaing dengan sawit. “Harga sawit lebih murah US$ 150 per ton karena produktivitasnya lebih tinggi,” katanya. (DR)