Konsisten pemerintah melakukan pengendalian produksi diperlukan sebagai upaya konservasi lingkungan.

JAKARTA – Pemerintah diminta  konsisten menggunakan rencana pembangunan nasional, kebijakan energi, serta agenda pengendalian perubahan iklim sebagai pertimbangan dalam melakukan evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan mineral dan batu bara (minerba)  2019 yang disampaikan  pemegang kontrak dan izin usaha pertambangan (IUP). Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, menetapkan pemegang IUP dan PKP2B wajib menyampaikan RKAB 2019 paling lambat 45 hari sebelum berakhirnya 2018.

“Proses evaluasi RKAB tahunan merupakan momen kritikal dalam menentukan arah dan menempatkan

industri pertambangan secara tepat dalam strategi pembangunan nasional,” kata Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia di Jakarta, Senin (3/12).

Maryati menekankan agar pemerintah konsisten melakukan pengendalian produksi sebagai upaya konservasi yang seiring dengan peningkatan pembinaan, pengaturan dan pengawasan usaha – sebagaimana telah dicanangkan oleh Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015 – 2019 guna menjalankan arah kebijakan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

RKAB sejatinya adalah instrumen pengendalian dan pengawasan pemerintah terhadap kepatuhan pelaku usaha. Tidak hanya itu, RKAB juga menjadi penentu target produksi dan penjualan nasional.

“Karenanya, penting untuk meletakkan RKAB sebagai dokumen yang tidak berdiri sendiri, namun harus berkontribusi pada strategi pembangunan dan kebijakan energi nasional,” kata Maryati.

Baik RPJMN 2015-2019 dan RUEN, keduanya memandatkan pembatasan produksi batu bara maksimal 400 juta ton pada 2019. Maka sejatinya RKAB harus sejalan dengan kedua kebijakan tersebut.

Menurut Maryati, target produksi yang tidak terkendali dan terus saja mengejar tuntutan pasar ekspor sudah

tidak wajar lagi dan sebaiknya dihentikan. Hal tersebut justru akan memicu produksi batu bara yang semakin massif dan tidak memperhatikan keseimbangan cadangan dan konservasi alam.

Oleh karenanya, untuk memenuhi program Nawa Cita yang berkelanjutan, pengendalian produksi batu bara untuk kepentingan nasional dan keselamatan masyarakat mutlak diperlukan,” tandas Maryati.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan produksi batu bara nasional hingga akhir 2018 melampaui target sebesar 485 juta ton. Ini melihat realisasi hingga Oktober yang sudah mencapai 409,9 juta ton.(RA)