JAKARTA – Pengembangan proyek gasifikasi batubara bawah tanah (underground coal gasification) dianggap masih sangat riskan. Padahal Indonesia merupakan salah satu pengekspor batubara terbesar didunia, sehingga memicu berbagai teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan batubara seperti gasifikasi dan likuifaksi.

“Belum berkembang sesuai yang diharapkan, sangat riskan. Perlu dibantu secara fiskal, apakah itu ramah terhadap pajaknya,” ungkap Pandu Sjahrir, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) di Jakarta.

Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel gas yang kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang dihasilkan dari karbonisasi coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak 1792.

Pada akhir 1880 produksi kimia dari proses gasifikasi didemonstrasikan dalam pembuatan amoniak. Teknologi ini berkembang sangat cepat ke daerah Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.

Kemudian awal 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi sedangkan di pihak lain cadangan batu bara sangat besar. Terdapat proses hidrogenasi batu bara dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai pengganti gas bumi atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena beroperasi pada tekanan yang tinggi, menjadikan proses hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan.

“Tentunya harus ada push dari private sector ya. Tapi, sejauh ini belum banyak yang ke arah sana,” tandas Pandu.(RA)