JAKARTA – Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai perlu reorientasi pola pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan mempertimbangkan kembali nilai keekonomian harga energi dan bukan berdasarkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan PT PLN (Persero).

Surya Dharma, Ketua METI, mengatakan nilai keekonomian harga energi ini pasti akan dipengaruhi faktor investasi dan berbagai macam ketetapan pajak dan pungutan-pungutan lainnya.

“Harapan para pengembang adalah dengan penetapan harga setelah mempertimbangkan berbagai faktor ketetapan perpajakan dan insentif. Serta parameter finansial lainnya,” kata Surya kepada Dunia Energi, Senin (10/7).

Dia menambahkan, saat ini pemerintah tentu sedang merevitalisasi pola pengembangan PLTS dan Energi baru terbarukan (EBT) lainnya. Tujuannya, jelas menurunkan BPP sebagaimana regulasi terakhir yang dikeluarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Karena itu, PLTS hanya akan bisa berjalan pada wilayah dengan BPP tinggi karena akan memenuhi nilai keekonomian. Umumnya demand di daerah tersebut juga rendah dan terbatas,” kata Surya.

Menurut Surya Dharma, pengembangan EBT di tempat-tempat dengan BPP tinggi itu juga terbatas. Sehingga, perkembangannya juga pada waktu yang terbatas. Ini berarti pengembangan PLTS tidak akan mungkin dilakukan di daerah Jawa, Bali, Madura dan juga sebagian besar Sumatera yang kebutuhan listriknya relatif lebih besar.

Untuk itu, perlu reorientasi pola pengembangan PLTS dengan mempertimbangkan kembali nilai keekonomian harga energi bukan berdasarkan BPP PLN.

“Nilai keekonomian ini pasti dipengaruhi faktor investasi dan berbagai macam ketetapan pajak dan pungutan-pungutan lainnya,” kata dia.

Setelah diterbitkannya Permen Nomor 12 Tahun 2017, PLN telah membuka pendaftaran Pra-Kualifikasi Pelelangan Kuota Kapasitas Region Sumatera yang dilakukan mulai tanggal 26 Me 2017 sampai dengan 2 Juni 2017.

“Terdapat 116 badan usaha yang mengambil dokumen Pra-Kualifikasi tersebut. Saat ini sedang menunggu proses pemasukan dokumen hingga 10 Juli 2017,” ujar Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, di Jakarta belum lama ini.(RA)