JAKARTA – Laporan Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019 yang dirilis oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan pada 2018.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  mengatakan kualitas kebijakan dan kerangka peraturan di sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses procurement internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable adalah beberapa faktor yang menghambat percepatan pengembangan energi di Indonesia.

Laporan IESR menyoroti mandeknya kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir. Meskipun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) mengklaim tentang PPA/Power Purchase Agreement yang tertinggi – sebanyak 70 PPA ditandatangani pada  2017, tetapi setelah satu tahun, sekitar setengah dari proyek masih berjuang untuk mencapai financial close dan menghadapi risiko penghentian oleh PLN pada akhir tahun ini.

“Laporan ini juga menyoroti tentang ketersediaan pembiayaan energi terbarukan di Indonesia. Banyak pengembang proyek yang terbarukan mengeluhkan tentang kesulitan untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan, sementara lembaga keuangan berjuang untuk mendapatkan proyek yang layak untuk dibiayai,” ungkap Fabby di Jakarta, Rabu (19/12).

Bankabilitas proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia terutama terhambat oleh tarif yang tidak menarik, skema Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), dan alokasi risiko PLN dan pengembang proyek.

“Laporan ini memberikan peringatan keras bahwa pemerintah tidak berada di jalur untuk mencapai 23% target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017,”  kata Fabby.

Fabby menyampaikan, situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kepentingan PLN tetapi gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta.

“Akibatnya, investasi terbarukan terus menurun sejak 2015,” tandasnya.(RA)