JAKARTA – Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu kendala justru pada regulasi yang ada. Paul Butarbutar, Chariman of Legal, Policy Advocy, and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan regulasi di sektor energi baru dan terbarukan sering berubah. Padahal investor membutuhkan kepastian, termasuk dalam hal regulasi.

“Kita masih ingat pada 2009 pemerintah menetapkan harga listrik feed in tariff untuk EBT. Hingga sekarang sudah beberapa kali direvisi. Ini tentu menimbulkan ketidakpastian bagi investor,” kata Paul, Senin (31/7).

Pemerintah dalam kebijakan bauran energi menetapkan porsi bauran energi dari energi baru terbarukan mencapai 23% pada 2025. Untuk mengejar target tersebut butuh kerja ekstra, apalagi saat ini bauran energi dari EBT baru mencapai 7,7%.

Paul mengatakan jika suatu perusahaan memulai membangun pembangkit masih menggunakan skema feed in tariff yang lama dan ketika mulai beroperasi regulasi sudah berubah, tentu formula perhitungannya ikut berubah. Padahal kepastian hukum menjadi salah satu syarat penting dalam berinvestasi.

“Menjadi pertanyaan kapan kita punya regulasi dan kebijakan yang stabil yang bisa berlaku untuk jangka panjang. Sehingga ketika investor mengembangkan proyek dia yakin proyeknya bisa berjalan,” ungkap dia.

Salah satu regulasi yang juga mendapat perhatian saat ini adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 43 Tahun 2017 tentang perubahan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Menurut Paul, aturan yang baru direvisi tersebut justru membuat investasi di sektor energi baru dan terbarukan tidak ekonomis.

“Intinya pelaku usaha meminta regulasi yang stabil dan berlaku untuk jangka panjang. Jangan terlalu sering melakukan revisi terhadap aturan karena menjadi tidak bagus untuk pengembangan EBT,” tandas Paul.(ES)