JAKARTA-Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia adalah keharusan, namun pengembagannya harus mempertimbangkan unsur keekonomian agar pemanfaatanya tidak membebani masyarakat. Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan energi terbarukan (renewable energy) adalah keharusan bukan lagi pilihan memilih fosil atau renewable energy.

“Yang terpenting adalah keekonomiannya. Jangan sampai kita mengembangkan sesuatu tapi yang kita kembangkan mahal sekali,” kata Arcandra pada halal bihalal Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Minggu (30/7)

Wakil Menteri ESDM menjelaskan ada beberapa program kerjasama bidang EBT antara Balitbang Kementerian ESDM dan UPN yang sudah berjalan, yakni pengembangan biofuel dari kemiri sunan dan shorghum.

Menurut Wamen ESDM, sifat energi fosil bukan termasuk energi yang habis, namun tak bisa diproduksi lagi. “Seandainya cadangan terbukti minyak kita 3,6 miliar barel dengan tingkat produksi 800 ribu per hari dan konstan, itu dalam waktu 12 tahun lagi akan habis. Itu yang harus kita ubah, yang benar adalah bukan habis, tetapi tidak bisa memproduksikan minyak,” katanya seperti dikutip Antara.

Arcandra mengatakan energi fosil tidak habis karena belum ada teknologi yang bisa menguras minyak hingga di bawah perut bumi sampai 100 persen.

Teknologi yang ada saat ini baru mengeksplorasi paling banyak 40-50 persen minyak yang ada sehingga masih  sekitar 60 persen minyak di bawah perut bumi. “Kondisi ini adalah tantangan bagi hadirnya  teknologi baru yang bisa mengambil cadangan minyak itu,” katanya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengakui pengembangan EBT Indonesia tertinggal oleh negara-negara G20 yang tengah melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dalam upaya mencapai target Paris Agreement. Brown to Green Report 2017, yang merupakan laporan tahunan ke-3 berupa evaluasi upaya-upaya negara G20 dalam mengatasi perubahan iklim, sangat penting untuk menilai pencapaian Indonesia dibandingkan dengan negara ekonomi berkembang lainnya.

Menurut Fabby, hal positif yang dicapai Indonesia, adalah penurunan subsidi BBM dalam angka yang cukup besar dari US$28 miliar berkurang menjadi US$6 miliar, bahkan di 2017 hanya mencapai hingga Rp 30 triliun.

“Ini indikasi bahwa kita sedang berusaha mengatasi persoalan pengunaan energi fosil yang sangat besar selama ini. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon,” katanya.

Dalam laporan tersebut Fabby mengatakan upaya mengurangi laju pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan, dan mengurangi subsidi bahan bakar fosil sejak 2015 membuat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon. Meski Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, pengembangan EBT termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya.

“Daya daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga buruk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada di bawah sejumlah negara G20,” katanya.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan untuk face out energi fosil belum bisa dilakukan sampai 2019. Setelah itu, emisi karbon akan bisa turun.

Jika Badan Restorasi Gambut (BRG) berhasil menjalankan restorasi dan KLHK berhasil mengatasi lahan terdegradasi pada 2019 hingga 2020, Indonesia akan bisa percaya diri mengatakan berapa angka pasti penurunan karbon di masing-masing sektor. (DR)