JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan sasaran komposisi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada 2025.

Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pasokan energi saat ini masih didominasi energi fosil. Padahal,  potensi EBT Indonesia sangat besar yaitu sekitar 441,7 gigawatt (GW), namun hingga saat ini perannya dalam penyediaan energi nasional masih sangat terbatas yaitu 7,7%, atau terpasang sebesar 8,89 GW atau 2% dari total potensi.
“Potensi EBT di Indonesia banyak, tapi pemanfaatannya masih rendah,” kata Yunus di Jakarta, Selasa (5/12).
Sebagai gambaran, bauran EBT meningkat rata-rata 0,54% setiap tahun. Pada 2016 capaian bauran EBT sebesar 7,7%. Angka ini lebih besar dari 2015 (6,7%), 2014 (6,4%) dan 2013 (5,3%).
Untuk kuartal II 2017 melebihi target, di mana energi panas bumi dan EBT lainnya mencapai 5,23% (target 4,96%) dan bauran energi dari air mencapai 8,07% (target 6,16%).
Beberapa kemajuan dalam pengembangan EBT, antara lain dengan ditandatanganinya 68 Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) antara PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP) dengan kapasitas 1.189,67 MW hingga November 2017 yang berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 4,76 Juta Ton CO2.
Yunus mengatakan, kondisi saat ini konsumsi energi mayoitas masih kurang efisien. Dengan demikian, pemanfaatan EBT adalah suatu kewajiban.
Pemanfaatan EBT dan penerapan konservasi energi, kata Yunus, untuk meningkatkan ketersediaan energi secara berkelanjutan menghemat bahan bakar fosil, dan secara simultan mencegah perubahan iklim global dengan mengurangi emisi GRK.
Yunus menambahkan, keuntungan lainnya adalah menciptakan lapangan kerja (dengan tumbuhnya industri hijau), mengurangi kemiskinan,  dan mengurangi ketergantungan dengan bahan bakar impor.
“Keterlibatan pemerintah, peran swasta, dan kerjasama internasional dibutuhkan untuk mempercepat pengurangan emisi GRK, dan mempercepat mencapai target pada Paris Agreement,” kata Yunus.(RA)