Sidang pembacaan vonis kasus bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mempertanyakan, untuk apa Majelis Hakim menghukum kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia mengembalikan dana USD 9,9 juta? Mengingat sejak kasus itu bergulir pada Februari 2012 sampai sekarang, belum pernah ada pembayaran cost recovery atas proyek bioremediasi.

Seperti diungkapkan Kepala Bagian Humas SKK Migas, Elan Biantoro pada Kamis, 9 Mei 2013 di Jakarta, pihaknya sangat prihatin terhadap kejadian yang menimpa pekerja Chevron terkait kasus bioremediasi. SKK Migas juga khawatir hal itu berdampak buruk terhadap iklim investasi di sektor hulu migas Indonesia.

Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menjatuhkan vonis, terhadap pimpinan dua perusahaan kontraktor bioremediasi Chevron, yakni Ricksy Prematuri selaku Direktur PT Green Planet Indonesia dan Herlan bin Ompo selaku Direktur PT Sumigita Jaya.  

Riscky Prematuri divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, sedangkan Herlan divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Keduanya juga dikenakan kewajiban mengembalikan kerugian negara sebesar sekitar USD 9,9 juta. Terkait vonis itu, baik Ricksy maupun Herlan menyatakan banding.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Hakim menghukum keduanya mengembalikan kerugian negara sebesar USD 9,9 juta? Karena sejauh ini belum ada uang negara yang dikeluarkan untuk membayar pekerjaan bioremediasi, yang dikerjakan baik oleh PT Green Planet maupun PT Sumigita.

“Semua pengeluaran dan pembiayaan pekerjaan bioremediasi ini belum dimasukkan dalam account cost recovery oleh SKKMigas, jadi belum ada kerugian negara sedikit pun,” kata Elan.

Elan pun menjelaskan, berdasarkan prinsip kontrak kerja sama migas atau yang dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) jika memang terbukti ada permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, mestinya masuk ranah hukum perdata.

Selain itu, SKK Migas juga telah melakukan suspended account sesuai Pedoman Tata Kerja, yaitu seluruh biaya operasi yang terkait bioremediasi telah ditangguhkan sehingga tidak terjadi kerugian negara.

Hakim Tidak Mengerti

Terkait adanya vonis mengembalikan uang negara USD 9,9 juta padahal belum pernah ada pembayaran proyek bioremediasi sejumlah itu, beberapa kalangan menduga Majelis Hakim yang mengadili perkara ini, tidak mengerti atau belum memahami dengan baik, mekanisme pembayaran cost recovery. Diduga hakim hanya merujuk pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang juga tidak mengerti persoalan itu, namun nekat memaksakan menyeret bioremediasi menjadi kasus korupsi.

Jaksa sendiri hanya mendasarkan dakwaannya pada keterangan Edison Effendi, seseorang yang mengaku ahli bioremediasi, namun faktanya beberapa kali kalah tender proyek bioremediasi Chevron. Dalam persidangan juga terungkap, Edison pernah menebar ancaman kepada karyawan Chevron saat kalah tender.  

Berangkat dari itu, SKK Migas mengharapkan jika ada permasalahan yang menyangkut hukum di industri hulu migas, penegak hukum tidak gegabah menangani sendiri kasusnya. Mengingat industri hulu migas merupakan industri yang sangat spesifik pekerjaan teknisnya, dan tidak banyak orang yang mengerti tentang sistem yang berlangsung di dalamnya.

“Mestinya lebih dulu dibentuk komisi penyelidik yang terdiri dari para pakar bidang teknis migas, sebelum masuk ke ranah hukum. Sehingga tidak muncul multi persepsi dari berbagai kalangan yang masih awam,” lanjut Elan Biantoro.

Ia menambahkan, semua warga negara memang tidak ada yang kebal hukum. Namun dalam penegakan keadilan perlu konsistensi kepastian hukum yang proporsional dalam konteks detil kasus hukumnya. Penegak hukum juga mestinya melibatkan orang-orang yang kompeten, agar tidak salah kaprah dalam memproses kasus hukum di industri hulu migas, yang berakibat dirugikannya hak hukum warga negara.

Pekerja Migas Resah

Dalam kesempatan yang sama, Elan juga mengakui bahwa akibat vonis kasus bioremediasi tersebut, menimbulkan keresahan kalangan pelaku industri hulu migas, baik pekerja Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas maupun pekerja perusahaan pendukung industri hulu migas.

“Hal ini sangat mengganggu operasional eksplorasi dan eksploitasi migas yang saat ini sedang berusaha meningkatkan laju produksi migas, guna penyediaan energi nasional dan pemasukan devisa negara,” tandasnya.

Menurutnya, saat ini pimpinan SKK Migas dan pimpinan para Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas yang sudah berproduksi, berupaya menenangkan kekhawatiran puluhan ribu pekerja hulu migas agar mereka tetap bisa fokus bekerja seperti biasa. “Pekerja hulu migas khawatir suatu saat bisa terkena kasus yang sama, kriminalisasi suatu perkara perdata menjadi perkara pidana,” ujarnya.

Ia menerangkan, saat ini ada sekitar 25.000 pekerja KKKS dan lebih dari 15.000 pekerja perusahaan pendukung industri hulu migas, yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Chevron yang berkontribusi 40% terhadap total produksi minyak nasional, memiliki lebih dari 6.000 pekerja dan lebih dari 3.000 tenaga pendukung operasional.

“Kepada para pekerja Chevron, kami menyampaikan empati yang sebesar-besarnya. Kami juga berharap pekerja Chevron tidak perlu berkecil hati dan tetap bekerja dengan baik,” tambahnya.

Elan pun menegaskan, SKK Migas meyakini bahwa pekerjaan bioremediasi adalah pekerjaan yang perlu dilakukan, untuk menjaga lingkungan sesuai dengan aturan yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup. Ia pun khawatir, kasus bioremediasi Chevron dapat mengganggu iklim investasi di sektor hulu migas, yang pada akhirnya menghambat upaya pemerintah menaikkan produksi serta meningkatkan cadangan migas nasional.

(Abdul Hamid/duniaenergi@yahoo.co.id)