Persidangan kasus bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Pengadilan diminta untuk bertindak secara adil dan obyektif dalam menangani kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Terlebih setelah Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menemukan adanya indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus itu.

Ketua Forum Komunikasi Kehumasan (FKK) Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas), Joang Laksanto mengungkapkan, kasus bioremediasi yang tengah dihadapi salah satu Kontraktor Kerja Sama (KKKS) migas itu, diharapkan dapat diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, dan tidak berlarut-larut.

Apalagi, kasus tersebut mendapatkan perhatian khusus dari para pelaku industri hulu migas karena telah masuk ke dalam ranah hukum pidana. Seperti diketahui, dalam kasus bioremediasi ini, empat karyawan Chevron dan pimpinan dua perusahaan kontraktor Chveron, dituduh melakukan tindak pidana korupsi.  

“Kami sangat prihatin kasus bioremediasi yang dihadapi Chevron, telah menyebabkan rekan-rekan karyawan dan kontraktor Chevron terancam hukuman penjara dengan tuduhan korupsi. Padahal, program pengelolaan lingkungan telah memiliki aturan khusus, yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003,” tegas Joang Laksanto di Jakarta, Minggu, 5 Mei 2013.

Menurut Joang, kegiatan industri hulu migas yang dijalankan oleh KKKS berlandaskan Production Sharing Contract (PSC) yang telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia. PSC merupakan kontrak bisnis antara Pemerintah Indonesia dan pihak swasta, yang berada dalam ranah hukum perdata.

Sebagai kontrak bisnis, PSC juga berlaku seperti undang-undang bagi para pihak yang berkontrak. Dengan demikian, bila ditemukan kegiatan yang tidak sesuai, sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum perdata.

Joang menambahkan, kasus ini juga menarik perhatian industri secara umum dan para pekerja migas khususnya, karena menyangkut kepastian penerapan hukum kontrak bisnis dan penegakan hukum. Karena itulah, dia berharap profesionalisme perangkat peradilan yang menangani kasus ini juga terjaga.

“Kami masih mempercayai sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan memberikan kesempatan kepada pengadilan untuk menilai kasus ini dan fakta-fakta persidangan secara adil dan obyektif,” tandasnya.

Temuan Komnas HAM

Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengungkapkan temuan adanya diskriminasi dan indikasi pelanggaran HAM, dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron. Diskriminasi utamanya ditemukan dalam penetapan tersangka dan pelaksanaan proses peradilan.

Natalius mengatakan, karena bioremediasi merupakan proyek korporasi, ketika ada masalah makan yang mestinya dimintai pertanggung jawaban adalah pimpinan perusahaan. Sedangkan pada kasus bioremediasi, yang diseret sebagai tersangka dan terdakwa adalah karyawan kelas rendahan (lower).

Diskriminasi juga terjadi pada pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim memberikan kesempatan pada Jaksa Penuntut Umum menghadirkan sekitar 40 saksi dalam kurun 3,5 bulan. Sedangkan terdakwa hanya diberi kesempatan menghadirkan saksi dalam tempo satu minggu.

Seperti telah diberitakan Dunia Energi pada Sabtu, 4 Mei 2013, Natalius Pigai juga membeberkan delapan indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus bioremediasi. (Selengkapnya baca – Natalius Pigai: Ada Indikasi Pelanggaran HAM Pada Penanganan Kasus Bioremediasi. Link: https://www.dunia-energi.com/natalius-pigai-ada-indikasi-pelanggaran-ham-pada-penanganan-kasus-bioremediasi/).

Saat diminta tanggapannya, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan sangat mendukung upaya Komnas HAM dan berharap rekomendasi Komnas HAM segera disampaikan ke publik.

“Kami melihat dan mencatat berbagai kejanggalan dalam proses penanganan kasus ini, oleh Kejaksaan Agung dan juga proses peradilan yang tengah berlangsung. Kami mendukung penuh upaya karyawan, kontraktor dan keluarga untuk  melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM sebagai hak warga negara yang harus dihormati dan dilindungi,” ujar Dony pada Senin, 6 Mei 2013.

Dony pun menjelaskan, kejanggalan tersebut sudah tercium sejak awal. Seperti yang sudah diputuskan empat hakim praperadilan bahwa penahanan Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdulfatah tidak sah, sehingga mereka dibebaskan setelah 62 hari ditahan.

“Bahkan Bachtiar dibebaskan dari statusnya sebagai tersangka oleh Majelis Hakim Praperadilan, karena dianggap penetapannya sebagai tersangka tidak berdasar,” jelas Dony.

Investor Kabur

Secara terpisah, Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro menduga, kasus bioremediasi ikut memicu dua investor asing di sektor hulu migas kabur, tidak lagi menanamkan modalnya di Indonesia belum lama ini.

Investor yang kabur itu adalah dua perusahaan asal Amerika Serikat, Anadarko Petroleum Corporation dan Hess Corporation. Anadarko melepas seluruh wilayah kerjanya, diantaranya di Sulawesi Barat dan Sumatera Selatan, padahal perusahaan itu sudah sempat melakukan pengeboran.

Semua saham Anadarko akhirnya dijual ke PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Hulu Energi yang sebelumnya memang telah mencapai kesepakatan definitif dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC, untuk mengakuisisi 100% saham dari tiga anak perusahaan Anadarko.

Sedangkan Hess, juga telah melapor kepada SKK Migas akan menjual seluruh asetnya di Indonesia. Yakni Lapangan Gas Pangkah dengan 75% hak partisipasi, sisanya dikuasai oleh Kuwait Foreign Petroleoum Exploration (Kufpec). Satu lagi adalah 100% hak partisipasi di Blok Semai V yang dalam tahap eksplorasi.

Kepada Antara pada Minggu, 5 Mei 2013, Elan mengatakan memang banyak alasan Anadarko dan Hess hengkang dari Indonesia. Namun ia menduga salah satunya adalah ketidakpastian hukum, yang dipertontonkan dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron.  

Sementara itu agenda persidangan kasus bioremediasi pekan ini, ialah pembacaan putusan atau vonis terhadap terdakwa Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa, 7 Mei 2013, pukul 12.30 WIB.

Ricksy adalah Direktur PT Sumigita Jaya, sedangkan Herlan adalah Direktur PT Green Planet Indonesia. Dua perusahaan itu merupakan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi. Baik Ricksy maupun Herlan telah menyampaikan pembelaannya pada sidang Jumat pekan lalu, 3 Mei 2013.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)