JAKARTA -Ukuran keberhasilan proyek pembangkit 35 ribu megawatt (MW) dinilai bisa dilihat dari sejauh mana progress perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dirampungkan.

“Kalau dilihat dari 2019 harus jalan, maka ukurannya sederhana. Dari 10 ribuan MW yang sudah ditandatangani apakah bisa financial closing pada tahun ini? Kalau bisa tinggal hitung hitungan maju ke depan. Karena masa konstruksi untuk 1000 MW itu butuh 4,5 tahun. Hitung aja, kalau 2019 ya lewat. Mungkin 2020 masih tercapai,” kata Heru Dewanto Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI).

Data APLSI menyebutkan hingga saat ini 17.400 MW listrik dari proyek pembangkit 35 ribu MW yang sudah menandatangani perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PLN.

Untuk mengejar target pembangunan proyek 35 ribu MW pelaku usaha juga masih harus melewati beberapa tantangan yang sampai sekarang menjadi hambatan dalam percepatan proyek, yakni pengadaan lahan untuk transmisi yang memang memerlukan lahan yang cukup luas.

Heru mengeluhkan bahwa selama ini para pengusaha tidak menerima bantuan untuk pembebasan lahan, tidak seperti jalan tol yang pasti mendapat bantuan. Padahal jika jalan tol dengan bantuan pemerintah saja bisa membutuhkan waktu 15-20 tahun, maka untuk pembebasan lahan bagi transmisi pembangkit listrik yang membutuhkan lahan seluas 5-50 km jika tidak dibantu dipastikan akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

“Pengadaan lahan masih isu besar. Khususnya untuk transmisi. Untuk transmisi bisa sekian km, artinya panjang. Kita bisa bandingkan dengan jalan tol. Jalan tol kalau dilihat ada yang 15 tahun. Ada yang 20 tahun. Nah pembangkit listrik untuk transisi itu misalnya, Jawa 5 sampai 50 km.Masalahnya adalah kalau jalan tol dapat bantuan dari pemerintah lewat tim 9. Untuk pembangkit listrik kita harus bebaskan sendiri tanpa bantuan PLN,” tandas Heru.(RI)