Pengacara Ricksy Prematuri, Najib Ali Gysmar (tengah) dalam sebuah diskusi.

Pengacara Ricksy Prematuri, Najib Ali Gysmar (tengah) dalam sebuah diskusi.

JAKARTA – Pengacara kontraktor bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Najib Ali Gysmar mengaku menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) boleh diajukan lebih dari satu kali, guna memberikan ruang bagi warga negara untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak asasinya.

Putusan MK tersebut, mengabulkan gugatan atas pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Putusan MK ini dilatarbelakangi banyaknya praktik penerapan hukum yang salah, dan fakta adanya warga negara yang dihukum hanya karena kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.

“Kami sedang mempersiapkan untuk ajukan PK (atas nama Ricksy Prematuri, kontraktor bioremediasi PT CPI, red) meskipun kini masih menunggu salinan resmi putusan kasasi MA-nya. Adanya putusan MK ini tentunya kita sambut baik karena memberi harapan baru jika PK pertama nanti tak berhasil, kami bisa ajukan PK kembali sampai klien kami dapat memperoleh keadilan yang layak didapatkannya,” ujar Najib Ali Gysmar dalam wawancara belum lama ini.

Menurut Najib, sejak pertama kali diputus  pengadilan tipikor Jakarta Pusat, tim pengacara dan terdakwa berkeyakinan bahwa tidak ada bukti apapun yang muncul di persidangan soal kerugian negara ataupun tindak pidana yang dilakukan oleh Ricksy maupun perusahaannya, PT Green Planet Indonesia (GPI) dalam pelaksanaan proyek bioremediasi.

“Kami dari dulu sampaikan bahwa satu hari saja dihukum, kami akan banding dan terus mencari keadilan. Oleh karena itu wajar apabila kami sambut putusan MK ini, karena kami yakin bahwa cepat atau lambat akan ada hakim yang obyektif dan amanah, yang bisa melihat kekeliruan dalam penanganan kasus ini dan putusan yang telah diambil hakim sebelumnya,” papar Najib.

Najib mengaku sependapat dengan pakar hukum pidana Dr. Mudzakkir, SH, MH. Dalam sebuah acara di stasiun televisi nasional belum lama ini,  Mudzakkir menyatakan bahwa jika kita pernah merasakan masuk penjara karena penerapan hukum yang salah atau tindakan sewenang-wenang penegak hukum, maka semua orang yang pernah mengalami hal tersebut akan setuju jika PK boleh dilakukan lebih dari satu kali.

“Klien kami, Ricksy Prematuri, juga adalah korban penanganan hukum yang keliru, seperti disampaikan Komnas HAM dalam temuan hasil investigasinya terhadap proses hukum kasus bioremediasi,” tandas Najib.

Perusahaan Ricksy, PT GPI, terang Najib, adalah perusahaan swasta yang berkontrak dengan Chevron yang juga swasta.  GPI memperoleh pembayaran atas hasil kerjanya sesuai dengan kontrak. Sebagai mitra yang berkontrak dengan GPI, Chevron tidak pernah mengeluh atas kinerja GPI. “Jadi sesuai hukum kontrak, menjadi aneh sekali kalau Ricksy tiba-tiba dituduh melanggar hukum oleh pihak lain diluar Chevron,” jelas Najib.

Dalam kasus ini, menurut Najib, penegak hukum mengambil bukti-bukti yang didasarkan pada keterangan Edison Effendi, yang dalam persidangan terungkap sebagai pihak yang kalah tender di proyek tersebut.

“Kalau Edison Effendi yang kemudian ditunjuk oleh jaksa sebagai ahli menilai cara kerja GPI tidak betul, padahal ahli lain bilang sebaliknya, menurut kami penegak hukum seharusnya berpegang pada kaidah dan prinsip hukum bahwa seorang ahli harus obyektif dan tidak tersangkut kasus yang sedang diperkarakan,” tandasnya.

Lagi pula, kata Najib lagi, terpilihnya GPI dalam proyek tersebut pun telah melewati proses kontrak yang terbuka dan transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di sektor hulu migas. “Jadi tidak ada yang salah dengan kualifikasi dan hasil kerjanya untuk pekerjaan yang dikontrakan. Inipun sudah dikonfirmasi SKK Migas,” ujar Najib.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun , lanjut Najib, telah memberikan  keterangan bahwa sebagai kontraktor lapangan, PT GPI tidak memerlukan izin khusus karena izin pengolahan bioremediasi telah dimiliki oleh Chevron sebagai penghasil limbah, pemilik fasilitas bioremediasi dan penanggung jawab pengolahan limbah.

“Kami akan segera ajukan PK jika salinan resmi putusan kasasi sudah kami terima. Klien kami sudah ditahan sejak September 2012 untuk pelanggaran yang tidak pernah dilakukannya. Ini sangat miris dan memprihatinkan di tengah-tengah keinginan negara kita untuk menjunjung supremasi hukum untuk menegakan keadilan,” imbuhnya.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)