JAKARTA – Kontraktor hulu migas kembali harus bersabar untuk menikmati perlakuan pajak skema kontrak Gross Split. Pasalnya draf peraturan yang mengatur skema pembayaran pajak terhadap kontrak baru yang meneggunakan skema gross split masih harus melalui proses pembahasan lintas kementerian.

Susyanto,  Sekretaris Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  mengatakan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)  sudah selesai dan disepakati Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan dan sudah diserahkan ke Sekretariat Kabinet. Namun draf tersebut masih harus melalui pembahasan dalam Panitia Antar Kementerian (PAK).

“Sudah diajuin ke Presiden, tapi kan ini persetujuan prinsip dulu, nanti ada PAK. Materi kan sudah dibahas kami sama Kemenkeu, nanti dirapatkan PAK melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Setkab, Kemenku dan kami (Kementerian ESDM),” kata Susyanto saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (7/11).

Dua poin utama yang selama ini diminta kontraktor migas yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA), yakni terkait tax loss carry forward dan pembebasan pembayaran indirect tax.

Susyanto memastikan meskipun harus kembali dibahas lintas Kementerian,  namun substansi isi dari RPP tersebut tidak akan berubah. Seperti untuk poin tax loss carry forward pemerintah memberikan kompensasi perpanjangan waktu atau masa tenggang untuk pembayaran pajak penghasilan yang di carry atau dipindahkan jadwal pembayarannya hingga 10 tahun. Padahal dalam regulasi perpajakan yang ada sebelumnya kompensasi pajak yang bisa diberikan pemerintah maksimal adalah selama lima tahun. “Prinsipnya sudah tidak ada (yang berubah),” tukas dia.

Untuk Indirect Tax mekanismenya juga sesuai yang diusulkan Kementerian ESDM,  yakni adanya pembebasan segala macam indirect tax seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea masuk dan pajak lainnya sejak masa eksplorasi hingga lapangan pertama kali diproduksikan (First oil).

Selanjutnya para kontraktor tetap akan dikenakan pajak,  hanya saja pengenaan pajak tersebut baru berlaku sejak first oil atau pertama kali minyak atau gas diproduksikan hingga Break Even Point (BEP) atau saat dimana modal atau investasi yang dikeluarkan telah kembali dari hasil produksi.

“Indirect tax tidak diatur di PP tapi diserahkan ke kami. Karena itu menteri kan, diganti split. Nah penggantian split tidak usah diatur di PP tapi permen kami yang atur,” ungkap Susyanto.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM menegaskan regulasi baru nantinya diyakini menjadi solusi terhadap beban yang selama ini diklaim para kontraktor, terutama karena harus menanggung beban pajak saat masih masa eksplorasi hingga eksploitasi dan first oil (pertama kali minyak atau gas diproduksi).

Penggunaan biaya investasi terbesar adalah saat masa Plant of Development (PoD) hingga first oil sehingga wajar jika ada fasilitas pembebasan pajak seperti yang diminta oleh para kontraktor, karena belum ada pemasukan yang diterima oleh kontraktor saat masa itu.

“Biaya terbesar pengeluaran itu setelah PoD sampai first oil, itu paling besar, cash fownya negatif.  Nah masa itu sekarang bebas pajak,” ungkap Arcandra.

Adapun perpanjangan masa kompensasi atau tax loss carry forward menjadi 10 tahun dimuluskan pemerintah dengan pertimbangan bahwa hasil produksi migas tidak akan langsung bisa memberikan keuntungan bagi kontraktor melainkan butuh waktu. Dalam kajian yang ada rata-rata waktu yang dibutuhkan sekitar lima tahun sejak first oil hingga BEP.

Sehingga kewajiban pembayaran pajaknya bisa ditangguhkan. “Jadi dipindahkan saja, bayarnya dicarry sekarang dikasih waktu 10 tahun,” tandas Arcandra.(RI)