JAKARTA – Pengembangan Blok East Natuna hingga saat ini masih belum menemui titik terang. Padahal sebelumnya pemerintah menyatakan penandatanganan production sharing contract (PSC) ditargetkan bisa dilakukan pada tahun ini.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan tantangan terberat dalam pengembangan Blok East Natuna adalah penerapan teknologi yang berpengaruh terhadap biaya produksi dan nilai keekonomian lapangan nantinya.

“Selama ini kita fokus ke strategi kontrak dan harus low price. Padahal Natuna padat dengan CO2, kita tidak pernah menarik agar teknologi masuk ke Indonesia,” kata Arcandra disela-sela forum bisnis pengembangan migas di kawasan Natuna yang digelar Ikatan Alumni Teknik Minyak Indonesia (IATMI) di Jakarta, Selasa (6/12).

Blok WMO

Namun demikian penerapan teknologi baru masih menemui tantangan berat lainnya. Untuk bisa meng-install suatu teknologi platform baru saja harus melewati banyak perizinan serta bisa memakan waktu bertahun-tahun.

“Sewaktu teknologi dibawa, perizinan untuk teknologi itu sekian tahun lamanya. Padahal teknologi tantangan terdepan, tanpa teknologi dan hanya mengandalkan teknologi existing saat ini saya pesimis Natuna bisa dikembangkan,” papar Arcandra.

Menurut dia, dalam pengembangan Natuna adalah ketersediaan data base system Blok Natuna masih ala kadarnya, belum lagi dengan kondisi geopolitik karena terletak di perbatasan. “Kemudian bisnis proses di tanah air yang masih cukup panjang serta transfer budaya,” tukas Arcandra.

0612-east-natuna

Rencananya Blok East Natuna akan dikelola tiga perusahaan yang tergabung dalam konsorsium yang dipimpin PT Pertamina (Persero), Exxonmobil dan PTTEP asal Thailand.

Pembahasan alot selain teknologi juga terkait pembagian hasil atau split yang belum menemui kata sepakat diantara para anggota konsorsium. Serta pemberian insentif yang rencananya akan diberikan pemerintah.

Menurut Arcandra, pemerintah masih bernegosiasi dengan para anggota konsorsium serta kementerian terkait dalam pemberian insentif fiskal.

Benny Lubiantara, Dewan Pakar IATMI, menyatakan potensi yang ada di Blok East Natuna tidak bisa terus didiamkan begitu saja karena perubahan konsumsi energi di Indonesia. Serta perkembangan energi secara global mengharuskan Indonesia memilki sumber energi baru.

“Bagi Indonesia pengembangan migas di East Natuna mendorong multiplier efek yang luas. Apalagi posisi strategis East Natuna yang terletak diperbatasan,” kata dia.

Menurut Benny, dengan adanya pengelolaan Blok East Natuna,  pemerintah akan mempunyai posisi tawar lebih baik jika dlihat dari sisi geopolitik yang kerap kali memanas disana. Karena tidak jarang China mengklaim Blok East Natuna adalah wilayah mereka.

“Percepatan East Natuna akan berdampak tidak saja peningkatan penerimaan negara tapi juga meningkatkan posisi tawar terhadap bargain klaim pemerintah di wilayah perbatasan,” tandas Benny.(RI)