JAKARTA – Penerapan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split sebagai pengganti cost recovery untuk kontrak kerja minyak dan gas bumi yang baru diprediksi akan memangkas jumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi.

Tutuka Ariadji, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan skema gross split membuat para kontraktor harus menjalankan strategi efisiensi secara masif. Perusahaan besar diyakini akan mampu menjalankan strategi tersebut karena membantu menopang keekonomian dari nilai proyek yang dikerjakan.

“Saya kira dalam lima tahun ke depan ada dampaknya, perusahaan besar akan hidup dan perusahaan kecil secara alamiah akan berkurang alamiah,” kata Tutuka di Jakarta, Rabu (26/4).

KKKS kecil akan kalah efisien dengan KKKS besar dengan perencanaan pendanaan menjadi lebih murah karena proyek yang dikerjakan besar. Berbeda dengan KKKS kecil yang kurang efisien karena pengadaan berbagai kebutuhan tidak sebanding dengan nilai proyek.

“Perusahaan besar produksi massal jadi harga peralatan disiapkan banyak sehingga jadi murah. Perusahaan kecil harus sewa dan sebagainya,” tukas dia.

Menurut Tutuka, penerapkan gross split bisa diterima untuk mendorong efisiensi para kontraktor yang selama ini dinilai mengeluarkan biaya tanpa terkontrol dengan baik untuk produksi karena akan diganti. “Semangatnya nanti KKKS akan mengurangi cost. Itu bagus jadi expend sekian otomatis akan efisien sekarang,” ungkap dia.

Selain itu, birokrasi yang selama ini dikeluhkan juga dapat teratasi karena melalui cost recovery proses persetujuan cukup panjang, seperti pembahasan di DPR. Dengan gross split biaya semua diatur KKKS tanpa diganti negara.

Tutuka mengatakan berkurangnya KKKS yang beroperasi bukan berarti akan membuat kegiatan eksplorasi ataupun produksi migas menjadi anjlok. Justru sebaliknya membuat pengelolaan KKKS lebih mudah diawasi.

Kondisi tersebut sudah dibuktikan di Amerika Serikat yang hanya memiliki sedikit perusahaan (seven sister) yang mendominasi operasi migas, namun memiliki kemampuan finansial kuat sehingga mampu melebarkan sayap hingga ke luar negeri. Pasalnya yang terpenting adalah capital yang mampu mendukung berbagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi secara luas.

“Kan lebih mudah mengelola sedikit perusahaan dari pada banyak. Nanti perusahaan-perusahaan kecil bisa saja merger yang penting bukan jumlah perusahaan tapi capital perusahaan itu,” tandas Tutuka.(RI)