Majelis Hakim Tpikor saat membacakan vonis untuk Herland bin Ompo pada Rabu, 8 Mei 2013.

Majelis Hakim Tipikor saat membacakan vonis untuk Herland bin Ompo pada Rabu, 8 Mei 2013.

JAKARTA – Penanganan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ternyata telah bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup.

Seperti diungkapkan pakar hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, kewenangan untuk menetapkan adanya pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup, sepenuhnya ada ditangan Menteri Lingkungan Hidup (LH). Penegak hukum harus berkoordinasi dengan Menteri LH, untuk menetapkan ada atau tidaknya tindak pidana lingkungan hidup.

“Sudah jelas tanpa tafsir lain, Menteri Lingkungan Hidup yang menentukan ada tidaknya pelanggaran hukum. Kewenangan menteri itu diatur dalam Pasal 63 ayat 1 huruf aa UU Nomor 32 Tahun 2009 bahwa dalam hal terjadi tindak pidana, penegak hukum harus berkoordinasi dengan menteri,” ujar Asep saat menjadi saksi ahli untuk terdakwa kasus bioremediasi, Kukuh Kertasafari.

Sidang Kukuh dengan saksi ahli Asep Warlan Yusuf, berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 24 Mei 2013. Kukuh yang merupakan karyawan Chevron, dituduh memperkaya dua kontraktor Chevron, PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.

Direktur Utama Green Planet Indonesia, Herland bin Ompo dan Direktur Utama Sumigita Jaya, Ricksy Prematuri, awal Mei 2013 lalu telah divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin Sudharmawati Ningsih. Masing-asing dihukum 6 tahun dan 5 tahun penjara, plus denda, dan kewajiban mengembalikan kerugian negara yang dituduhkan. Keduanya pun mengajukan banding.

Sepanjang proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, hingga proses pengadilan, Dunia Energi mencatat Menteri LH tidak pernah dimintai pendapat, soal ada atau tidaknya pidana lingkungan dalam kasus bioremediasi Chevron.

Hanya beberapa pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang mengaku dimintai keterangan oleh penyidik Kejaksaan Agung. Itu pun ketika penyidik sudah menetapkan tersangka. Dan meski pejabat KLH menyatakan tidak ada pelanggaran dalam proyek bioremediasi, penyidik Kejaksaan tetap melimpahkan kasus itu ke pengadilan.

Demikian pula saat di pengadilan, Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih tidak pernah sekalipun meminta pendapat Menteri LH. Hingga Ricksy dan Herland tetap dijatuhi vonis bersalah, meski beberapa pejabat KLH yang dihadirkan di persidangan sebagai ahli menyatakan pelaksaan proyek bioremediasi Chevron sudah taat aturan.   

Hakim Diminta Amanah

Ditemui secara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menjelaskan, selama puluhan tahun UU Lingkungan dan produk-produk peraturan yang dibuat oleh KLH sebagai regulator, telah dijalankan oleh Chevron sebagai acuan operasi migasnya di Indonesia.

“Kami mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk kembali berpegang pada ketentuan perundangan di Indonesia bahwa hanya KLH yang berwenang menentukan pelanggaran atas undang-undang lingkungan,” ujar Dony di Jakarta, Senin, 27 Mei 2013.

Proyek Bioremediasi, lanjut Dony, telah dinyatakan sebagai proyek yang taat hukum dan bahwa Green Planet Indonesia (GPI) maupun Sumigita Jaya (SGJ), keduanya kontraktor CPI yang membantu pengerjaaan pengolahan limbah tidak perlu memiliki ijin khusus sesuai Kepmen LH 128/2003 dan PP 18/1999 seperti diterangkan oleh Deputi Menteri LH Bidang Pengelolaan B3 dalam persidangan.

Kesaksian KLH dalam persidangan telah menggugurkan semua tuduhan dan bukti-bukti pelanggaran undang-undang dan peraturan lingkungan seperti soal ijin dan aktifitas bioremediasi yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum atas dasar penjelasan ahli Kejagung, Edison Effendi dan Prayitno. Para ahli independen di bidang undang-undang lingkungan dan bioremediasi mendukung keterangan KLH.

“Kami yakin bahwa majelis hakim telah luput untuk merujuk kepada KLH dalam memutus pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan dalam vonis yang dijatuhkan kepada kedua kontraktor kami, Herlan dan Ricksy. Namun demikian tidak pernah ada kata terlambat untuk menegakkan kebenaran dan bertindak sesuai amanah,” ujar Dony.

“Dengan semua fakta hukum yang hadir dipersidangan, kami berharap majelis hakim akan memiliki kepercayaan diri untuk menghentikan proses peradilan ini segera dan menegakkan hukum secara adil dan bermartabat,” tegas Dony.

Sebagai penegak hukum yang telah bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa, menurut Dony, majelis hakim pengadilan Tipikor dipercaya akan merujuk penyelesaian perkara ini kepada otoritas negara yang berwenang yaitu KLH. Hal ini penting dalam memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan negara.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)