JAKARTA – Langkah Kejaksaan Agung menahan sejumlah karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dalam kasus bioremediasi, dikhawatirkan menimbulkan trauma di kalangan pekerja sektor minyak dan gas bumi (migas) yang berdampak negatif pada perjalanan industri migas Tanah Air ke depan.

“Jangan-jangan nanti para profesional di industri migas tidak ada yang berani tandatangan, atau mengambil keputusan terkait suatu kegiatan operasi di perusahaannya, karena takut dipenjarakan,” tandas Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil.

Dipnala mengaku, sangat prihatin dengan perkembangan kasus bioremediasi Chevron, yang ditangani Kejaksaan Agung. Bagi industri migas secara makro, perlakuan terhadap kasus bioremediasi Chevron ini akan membawa image buruk terhadap kepastian hukum berinvestasi di Indonesia.

“Mungkin bukan sekarang, tetapi diwaktu yang akan datang, investor migas yang akan masuk akan ragu-ragu melihat situasi di Indonesia,” ujarnya dalam  Focuss Group Discussion (FGD) Kepastian Hukum dan Pengaruhnya Terhadap Investasi di Sektor Migas, Rabu, 7 November 2012 di Jakarta.

Lebih parah lagi, kata Dipnala, kasus tersebut telah membuat sejumlah karyawan Chevron menjadi tersangka dan ditahan. Ini akan menimbulkan trauma psikologis bagi para pekerja di sektor migas, dan merupakan preseden negatif bagi mereka yang bekerja di sektor migas.

Ajukan Praperadilan

Pada kesempatan yang sama, Vice President Policy, Government & Public Relation Chevron, Yanto Sianipar juga mengaku heran dengan kasus yang membelit proyek bioremediasi perusahaannya itu. Selama 80 tahun Chevron beroperasi di Indonesia, baru saat ini kegiatan operasinya berbuah kasus pidana, dengan tuduhan korupsi.

Kanan ke kiri: Yanto Sianipar, Dipnala Tamzil, pakar migas Abdul Muin, dan Kadiv Humas, Sekuriti dan Formalitas BPMIGAS Hadi Prasetyo, dalam FGD Kepastian Hukum di Sektor MIgas, Rabu, 7 November 2012.

Padahal, kata Yanto, proyek bioremediasi yang dituding Kejaksaan Agung merugikan negara itu sudah berlangsung lama, sudah sukses merehabilitasi lingkungan, dan sama sekali tidak dibiayai oleh anggaran negara.

“Kami pekan lalu sudah mengajukan permohonan praperadilan dan penangguhan penahanan, atas karyawan Chevron yang ditahan Kejaksaan Agung. Prosesnya saat ini sedang berlangsung,” ungkapnya.

Sejauh ini, kata Yanto lagi, Chevron juga sudah menyampaikan surat ke pemerintah, agar persoalan bioremediasi ini diselesaikan secara perdata. “Tanggapan pemerintah cukup positif. Karena memang persoalan ini bukan berada di ranah pidana, melainkan perdata sebagaimana layaknya PSC,” jelas Yanto.

Yanto sendiri tidak ingin banyak menanggapi kemungkinan adanya motif-motif tertentu, terkait masuknya Kejaksaan Agung memeriksa proyek bioremediasi Chevron. Termasuk tentang dugaan, adanya pihak yang kalah dalam tender proyek bioremediasi tersebut, sehingga menggunakan jaringannya di Kejaksaan Agung untuk “membalas sakit hati”.

Menurutnya, kalah atau menang dalam kasus ini bukan tujuan utama Chevron. “Tujuan utama kami, penanganan kasus ini dikembalikan pada jalur yang benar, yakni perdata sebagaimana layaknya PSC,” tegasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)