JAKARTA – Tanpa dasar hukum yang sah, Kejaksaan Agung kembali menahan karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah pada Jumat pagi, 17 Mei 2013. Para pimpinan perusahaan minyak dan gas (migas) itu pun berang, dan menyatakan telah terjadi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Presiden Direktur PT CPI, Abdul Hamid Batubara dan Managing Director Chevron Indonesia, Jeff Shellebarger langsung mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mengungkapkan keprihatinannya, akan tindakan Kejaksaan Agung yang memanggil paksa dan menahan Bachtiar Abdul Fatah.

Menurut mereka, tindakan Kejaksaan Agung itu melanggar hak hukum dan HAM, karena mengabaikan putusan pra peradilan yang telah membatalkan penetapan Bachtiar sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi yang disidik Kejaksaan Agung. 

“Pengadilan Pra Peradilan telah memutuskan kasus Bachtiar ini, dan dengan jelas telah menyatakan bahwa penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung tidak sah.  Menangkap dan menahannya adalah pelanggaran putusan pengadilan, dan berarti pelanggaran terhadap hak hukum dan hak azasinya. Pengadilan harus turun tangan dalam hal ini dan melindungi hak hukum dan HAM karyawan kami dari tindakan tidak terpuji ini,” jelas Hamid.

Seperti diketahui, pada 27 November 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui sidang pra peradilan memutuskan pembebasan Bachtiar dari tahanan penyidik Kejaksaan Agung, dan membatalkan penetapan Bachtiar sebagai tersangka, karena penahanan dan penetapannya sebagai tersangka tidak didahului dengan bukti-bukti yang cukup.

Putusan pengadilan ini terjadi setelah Bachtiar dan tiga karyawan yang lain dipenjara selama 62 hari tanpa adanya bukti-bukti yang cukup.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutus bebas dari tahanan bagi semua karyawan Chevron tersebut termasuk Bachtiar melalui putusan No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Menurut hukum Indonesia, putusan pra peradilan tidak dapat diabaikan oleh siapapun, tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pra peradilan tersebut.

Namun ternyata, Kejaksaan Agung mengabaikan putusan pra peradilan itu, dan tetap melanjutkan kasus bioremediasi terhadap Bachtiar dan tiga karyawan Chevron lainnya. Padahal keempatnya sudah terang tidak bersalah, atas dasar keterangan pejabat pemerintah di semua institusi pengawasan terkait, yang telah memberikan kesaksian di pengadilan.

Di persidangan, para pejabat instansi yang berwenang itu, diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan SKK Migas, telah menerangkan bahwa program bioremediasi Chevron dalam operasinya memiliki izin hukum, dan mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan pemerintah.

Pengadilan telah mendengarkan kesaksian dari pejabat-pejabat dari SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa operasi Chevron taat hukum dan Kejaksaan Agung salah mengerti mengenai program bioremediasi ini.

“SKK Migas secara terbuka menyatakan bahwa Chevron telah menanggung seluruh biaya program bioremediasi tanpa ada pengembalian biaya dari pemerintah Indonesia. Karena itu tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan oleh program bioremediasi ini seperti yang dituduhkan oleh Kejaksaan Agung,” kata Hamid.

“SKK Migas juga menyatakan bahwa apabila ada sengketa mengenai program bioremediasi, maka seharusnya ini diselesaikan dengan mengacu kepada hukum perdata seperti yang diatur oleh Kontrak Kerja Bersama (PSC) antara Chevron dan pemerintah Indonesia,” tambah Jeff Shellebarger.

Hamid dan Shellebarger melanjutkan,Chevron telah dan akan terus membela hak hukum dan HAM karyawan serta kontraktornya kami dalam kasus bioremediasi. “Chevron percaya bahwa tindakan Kejaksaan Agung ini tidak beralasan, dan menimbulkan ancaman bagi setiap pekerja di industri migas, karena mereka bisa menjadi korban berikutnya dari pelanggaran hak-hak warga negara yang merusak keselamatan dan keamanan mereka,” tegas keduanya.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)