JAKARTA – Pemerintah menegaskan tidak bisa didikte perusahaan manapun dalam menentukan masa depan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat melalui anak usahanya, PT Freeport Indonesia. Freeport mengancam akan memperkarakan pemerintah Indonesia ke arbitrase karena tidak mau mengikuti regulasi pertambangan yang baru.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menegaskan pemerintah akan menghadapi Freeport di Arbitrase untuk menegaskan adanya kepastian hukum dan posisi Indonesia dalam penetapan kebijakan pertambangan.

“Bagus dong kalau arbitrase, biar ada kepastian (hukum). Kita kan gini itu kan semua aturan ketentuan sudah diberikan tidak boleh dong didikte, tidak bisa dong,” kata Luhut di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta, Selasa (21/2).

Menurut Luhut, Freeport sudah lama mendapatkan keuntungan dengan mengeruk kekayaan alam Indonesia selama 50 tahun. Apalagi syarat yang diminta pemerintah Indonesia tidaklah besar karena hanya mengharapkan kerja sama bisnis yang berkeadilan dengan mengharuskan divestasi sebesar 51 persen saham.

“Kita cukup bagus dan mau business to business, tidak ada urusan negara ke negara dia private sector kok. Dia kan sudah 50 tahun di Indonesia pada 2021 nanti. Masak Indonesia tidak boleh jadi majority,” tegasnya.

Freeport-McMoRan sebelumnya menyatakan akan membawa masalah yang dihadapi di Indonesia ke arbitrase, jika hingga 120 hari ke depan tidak ada kesepakatan dengan pemerintah.

Richard C Adkerson, President and CEO Freeport, menegaskan, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri kontrak karya yang ditandatangani 1991. Kontrak karya tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Dalam surat yang kami sampaikan ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,” kata Adkerson.

Freeport bahkan sempat menyatakan akan melakukan pengurangan pekerja sebagai dampak dari pelarangan ekspor karena adanya Permen ESDM No 1 Tahun 2017.

Menurut Luhut sebagai sebuah perusahaan multinasional, Freeport tidak seharusnya menggunakan para pekerjanya yang mayoritas dari Indonesia dalam rangka menekan pemerintah karena sebagai perusahaan berstandar internasiional ada mekanisme yang harus dilakukan sebelum melakukan kebijakan seperti lay off.

“Tidak boleh perusahaan multinasional seperti itu membuat penekan dengan lay off pegawai, dia punya tanggung jawab dengan itu, kau tulis itu baik-baik. Kampungan itu, itulah saya bilang kampungan itu,” tegasnya.

Luhut mengatakan jika Freeport kalah dalam arbitrase maka perusahaan asal Amerika Serikat itu dipersilahkan untuk meninggalkan tanah Papua. Perusahaan nasional, baik swasta maupun nasional diyakini bisa mengelola area pertambangan Grasberg di Papua yang ditinggalkan Freeport nantinya. Apalagi kemajuan ilmu pertambangan dan engineer yang dimiliki Indonesia bisa untuk mengelola teknologi yang diterapkan oleh Freeport sekarang ini.

“Semua kita dorong, kalau swasta, saham dia pasti jeblok, kalau jeblok bisa juga beli saham dia 30 persen banyak opsi begitu. Jangan dikira Indonesia bisa diatur-atur,” tandas Luhut.(RI)