JAKARTA – Pemerintah mengharapkan PT Freeport Indonesia segera memberi penjelasan untuk menawarkan opsi pada pemerintah terkait permohonan keringanan persyaratan jaminan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan syarat kepada Freeport untuk membayar jaminan US$530 juta guna memperoleh rekomemdasi izin ekspor konsentrat.

“Kita harap segera ada penjelasan opsi yang mereka kasih seperti apa. Pasalnya jika tidak ada seperti itu dan kepastiannya belum ada dan mengakibatkan saham dia jatuh, kan dia punya resikonya sendiri, bukan hanya pemerintah dong yang salah,” ujar Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.

Menurut Bambang, Freeport pasti akan memberikan jawaban untuk berkomitmen dalam mengembangkan hilirisasi di Indonesia sebelum stok produksi mencapai puncak. Jika Freeport tetap tidak bisa melakukan ekspor konsentrat tembaga, sementara produksi tetap berjalan seperti biasa, ada kekhawatiran adanya stop operasi dari perusahaan tambang berbasis di Amerika tersebut yang memaksa dilakukannya pengurangan karyawan.

“Itu sebenarnya belum tentu juga, tergantung Freeportnya. Mereka punya perhitungan sendiri, tidak mungkin mereka ingin membuat bangkrut dirinya sendiri,” ujar dia.

Bambang mengatakan pihaknya tetap mengusahakan agar Freeport tetap bisa melakukan kegiatannya, namun syarat pembayaran dana jaminan US$530 juta, jika Freeport ingin memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaganya dilaksanakan. Dana jaminan disyaratkan karena Freeport dianggap belum memenuhi kewajiban pembangunan smelter tembaga.

“Akan tetapi dari surat Freeport kemarin, mereka itu minta keringanan karena perusahaan induknya di Amerika Serikat (AS) sedang mengalami rugi besar akibat harga komoditi anjlok dan pasar mereka yang sedang lesu, karenanya kita tetap tunggu bagaimana permintaan dia untuk tunjukan komitmen itu,” tandas dia.

Terakhir adalah adanya rekomendasi dari DEN untuk merevisi UU Minerba yang dianggab menghambat investasi dan minim explorasi, akhirnya muncul gagasan untuk

Sementara itu, Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, mengatakan rencana untuk merevisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan menghapus kewajiban pembangunan smelter bagi pertambangan perlu diwaspadai. “Jangan jangan, Freeport ada dibalik ini semua, dengan dihapuskannya kewajiban smelter maka Freeport tidak perlu lagi bangun smelter dan akhirnya bangsa kita tetap akan menjadi bangsa dungu yang dibodohi oleh Freeport,” ungkap dia dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Ferdinand, hambatan investor disektor tambang bukanlah masalah smelter, rendahnya explorasi juga bukan karena UU Minerba. Untuk itu, DPR dan pemerintah jangan mencari cari alasan untuk memenuhi keinginan asing. “Ini tidak boleh dilakukan,  jika ingin merevisi UU Minerba justru harus memperkuat posisi negara, bukan semata melihat kepentingan bisnis dan uang, tapi jauh lebih penting kedaulatan dan kemandirian negara,” tegas dia.(AT/RA)