JAKARTA –  Pemerintah tidak akan mengizinkan PT PLN (Persero) untuk meneruskan kerja sama dengan Keppel Offshore and Marine maupun Pavilion Gas,  jika hasil study yang saat ini dilakukan  menunjukkan  tidak ada efisiensi biaya yang didapatkan PLN.

Saat ini PLN dan Keppel  melakukan kajian untuk kerja sama pengadaan gas bagi pembangkit listrik PLN yang terletak di wilayah Indonesia bagian barat.

“Kontraknya itu bukan kontrak jual beli gas. Tidak ada urusan jual beli gas, masih di study. Kalau dalam enam bulan biayanya tidak masuk, ya tidak jadi. Jadi ini masih kajian. Kami (pemerintah) juga enggak bodoh-bodoh amat,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rabu malam (13/9).

Menurut Luhut, kerja sama dengan kedua perusahaan asal Singapura berawal dari upaya pemerintah untuk menemukan solusi guna menurunkan harga gas di wilayah barat Indonesia,  khususnya di Sumatera. Ini sejalan juga dengan keinginan PLN mencari sumber gas lain dengan harga yang lebih murah untuk kebutuhan berbagai pembangkit berkapasitas kecil.

Selama ini salah satu penyebab harga gas masih tinggi adalah sumber gas yang jauh dari konsumen. Sumber gas banyak terletak di Indonesia Timur, namun konsumennya justru berada di Indonesia bagian barat.

“Sebenarnya pikiran sudah datang beberapa bulan lalu untuk gas di Medan. Kalau kita ambil gas dari Indonesia timur, cost transportation akan bertambah. Dalam konteks ini PLN coba kajian, kalau tidak efisien ya kita tidak jadi,” ungkap Luhut.

Ridwan Djamaluddin, Deputi Bidang Koordinasi Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim,  menegaskan hingga saat ini kedua pihak masih belum menemukan perhitungan tepat dari sisi pembiayaan swap gas. Kedua pihak memiliki skema perhitungan yang berbeda-beda sehingga kajian masih terus dilakukan.

PLN dan Keppel-Pavilion  mengkaji gas dikirim ke tiga lokasi awal dari sembilan lokasi yang diusulkan,  namun untuk tiga lokasi awal saja biaya transportasi dan regasifikasi biayanya masih US$ 4,34 per MMBTU. Padahal jika pengiriman lebih dari tiga lokasi maka harganya bisa berkisar antara US$ 3,66 – US$ 3,8 per MMBTU

“Sudah dikaji angka-angka ini dan harus kita yakini ini dihitung benar. Jadi angka-angka ini yang nantinya mau dibandingkan. Kan orang tidak mau rugi juga kalau berbisnis. Belum sampai sepakat mau beli,” kata Ridwan.(RI)