JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak akan gegabah dalam menghimpun dana ketahanan energi. Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap terbuka dan menghargai masukan yang diberikan berbagai pihak terhadap rencana penghimpunan dana ketahanan energi.

Sudirman Said, Menteri ESDM, mengatakan kebijakan baru akan selalu menimbulkan tanda tanya. “Kami terima sebagai proses. Ke depan, kami sedang menyiapkan seperangkat hukum yang merinci aturan yang ada,” kata dia.

Pemerintah berencana untuk mulai menghimpun dana ketahanan energi melalui pemungutan premi pengurangan energi fosil.

Sudirman sebelumnya mengatakan secara konsepsi dana ketahanan energi dapat digunakan untuk mendorong eksplorasi agar depletion rate cadangan bisa ditekan. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk membangun infrastrukur cadangan strategis, energi yang sustainable yakni energi baru terbarukan.

Menurut dia, dana ketahanan energi seperti uang negara pada umumnya, akan disimpan Kementerian Keuangan dengan otoritas pengggunaan oleh kementerian teknis yaitu Kementerian ESDM. Secara internal audit dilakukan oleh Irjen Kementerian ESDM, BPKP, dan BPK.

Rieke Diah Pitaloka, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan pro kontra terhadap dana pungutan tidak bisa dianggap sekedar hal wajar, jika urusannya dengan indikasi pelanggaran terhadap undang-undang. Cara pengelolaan yang profesional, transparan dan akuntabel bermula dari kepatuhan hukum, undang-undang dan Undang-Undang Dasar 1945.

“Apabila patuh terhadap UU tersebut, maka sumber dana pungutan tidak boleh mengutip lagi dari rakyat. Silahkan diambil dari pendapatan negara dari pajak migas, sekarang ada Rp 50 triliun. Dan penghasilan negara bukan pajak dari migas, sekarang ada
Rp 95 triliun. Tidak boleh diambil dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) kepada rakyat,” tegas Rieke.

Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, mengatakan pemerintah tidak bisa menjalankan suatu kebijakan pungutan BBM tanpa dasar hukum yang jelas, baik menyangkut besaran pungutan, mekanisme penggunaan dan pertanggungjawabannya. “Kebiasaan mengumumkan suatu kebijakan tanpa dasar hukum ini, seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah karena bertentangan dengan asas negara hukum yang dianut UUD 1945,” tandas dia.(RA)