JAKARTA – Pemerintah menegaskan Freeport-McMoRan Inc melalui anak usahanya, PT Freeport Indonesia akan kehilangan peluang berinvestasi di Indonesia pasca berakhirnya kontrak pada 2021, jika tidak setuju dengan status pertambangan yang baru.

“Pemerintah juga siap jika Freeport menggugat ke arbitrase internasional. Jadi kalau dihadapkan dengan masalah itu, kami siap,” tegas Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di Jakarta.

Hal ini diungkapkan Luhut menanggapi rencana Freeport yang diungkapkan Richard C. Adkerson, President dan CEO Freeport McMoRan. Adkerson mengaku akan membawa masalah yang dihadapi di Indonesia ke arbitrase, jika hingga 120 hari ke depan tidak ada kesepakatan dengan pemerintah.

Menurut dia, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri kontrak karya yang ditandatangani 1991 silam itu. Kontrak karya tidak dapat diubah sepihak oleh pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Dalam surat yang kami sampaikan ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase,” kata Adkerson.

Menurut Luhut, pemerintah tidak mau diatur oleh Freeport untuk melakukan negosiasi selama 120 hari sejak perusahaan melayangkan surat pemberitahuan pelanggaran KK yang diklaim dilakukan pemerintah. Posisi pemerintah juga jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun.

“Freeport harus menyadari ini adalah B to B (business to business) jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini jadi mereka juga harus menghormati undang-undang kita,” kata dia seperti dikutip Antara.

Luhut mengatakan Freeport sejak 2009 juga tidak memenuhi kewajiban mereka untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral serta tidak melakukan divestasi 51 persen.

“Itu kan persoalan lama. Jadi sekarang pemerintah enggak mau lagi mundur soal itu karena setelah 50 tahun masak kita tidak boleh mayoritas,” katanya.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun “smelter” dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.

Dengan status IUPK, posisi pemerintah akan lebih tinggi dari Freeport karena bertindak sebagai pihak pemberi izin usaha pertambangan.

Jika berubah menjadi IUPK, perusahaan harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (berubah-ubah atau prevailing), tidak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown). Oleh karena itu, Freeport bersikeras tidak mau melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam.(AT)