JAKARTA – Pemerintah mengkaji penggunaan mekanisme hybrid yang mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Jika simulasi yang dilakukan berhasil, maka Indonesia akan meninggalkan rezim penetapan harga gas tetap atau fixed dalam eskalasi tahunan.

Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan skenario hybrid adalah salah satu cara yang sedang dibahas bersama seluruh stakeholder, termasuk badan usaha di sektor hulu, midstream, seperti trader, agar semuanya sejalan dan efektif dalam penyalurannya sehingga memiliki margin yang wajar.

Jika penentuan harga gas yang baru terealisasi, maka dipastikan terjadi perubahan dalam Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang sudah terlanjur berlaku.

“Itu kan namanya kontrak itu adalah antara dua pihak. Dua pihak harus sepakat. Kalau enggak sepakat ya tidak  bisa dan tidak boleh berdampak pada KKKS. Jangan sampai mereka lari juga,” ujar kata Agus di Jakarta, Kamis (6/10).

Saat ini penetapan harga gas menganut sistem fixed yang bertujuan agar harga gas tidak ikut naik saat harga minyak melambung. Namun skema tersebut ternyata tidak berlaku dikondisi saat ini dan tidak bisa melindungi pelaku usaha yang terkena dampak ketika harga gas terlalu tinggi dan harga minyak terus anjlok.

Dengan mekanisme hybrid maka diharapkan bisa melindungi seluruh pihak, baik pembeli atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), karena ada batasan dan perhitungan yang jelas terkait hubungannya dengan fluktuasi harga minyak dunia.

“Dengan hybrid itu adalah suatu jalan tengah jika langsung connect dengan harga minyak. Jadi saat harga minyak rendah jadi rendah sekali. Harga tinggi, nanti harga gas tinggi. Jika langsung kayak LNG, pada saat harga diatas US$100 per barel, gasnya nanti bisa US$ 17 per MMBTU, US$ 18 per MMBTU. Dengan hybrid, ini kan jadi separuhnya hanya US$ 10 per MMBTU. Simulasi kita begitu,” tandas Agus.(RI)