JAKARTA – Pemerintah akan merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2017 tentang pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit listrik. Salah satu poin utama yang diubah adalah konsep pelaksanaan regulasi tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan patokan harga yang dipilih sebagai pembanding harga gas seharusnya berdasarkan harga di end user atau di penerima gas bukan justru harga di plant gate.

Dalam Permen 11, pasal 9 disebutkan PT PLN (Persero) atau
badan usaha pembangkitan tenaga listrik bisa menggunakan gas pipa dengan harga paling tinggi 11,5% dari harga ICP per MMBTU. Jika harga gas melebihi 11,5% dari ICP maka mereka diperbolehkan untuk menggunakan LNG domestik.

Apabila harga gas pipa dan LNG domestik masih lebih tinggi dari 11,5% dari harga ICP, maka PLN atau badan usaha pembangkitan listrik dapat mengimpor LNG sepanjang harga tersebut paling tinggi 11,5% dari ICP/MMBTU.

Menurut Arcandra, beleid tersebut belum memperhitungkan adanya biaya transportasi dan biaya regasifikasi dalam penggunaan LNG, baik domestik maupun impor.

“Konsepnya diubah, mana threshold-nya (batasan harga) harus berdasarkan harga di end user. Jadi harga akhir yang dibandingkan, bukan harga landed price,” kata Arcandra di Jakarta, Senin malam (10/7).

Jika tidak direvisi, PLN ataupun badan usaha diyakini tidak akan mau membeli gas dari manapun karena dianggap mahal, baik gas pipa, LNG domestik maupun LNG yang berasal dari luar negeri.

“Tidak dipakai juga nanti karena masih ada biaya transportasi dan regas harganya bisa jadi US$11 sekian, bahkan US$12. Artinya PLN mau tidak? Ya tidak karena lebih mahal,” ungkap dia.

Menurut Arcandra, revisi Permen 11 menjadi salah satu prioritas Kementerian ESDM untuk segera dirampungkan agar bisa diimplementasikan.

“Kita sedang bereskan ini, dalam waktu dekat diharapkan ada perbaikan,” tandas Arcandra.(RI)