JAKARTA – Pemerintah mengaku kecewa terhadap pengembangan proyek minyak dan gas laut dalam (Indonesia Deepwater Development/IDD) yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia. Kekecewaan pemerintah terutama disebabkan tidak adanya kemajuan berarti terhadap pengembangan Lapangan Gendalo dan Gehem.

“IDD sampai sekarang slow, bolanya di Chevron. Tapi lambat (progressnya), tidak ada kemajuan,” tegas Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ditemui di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Arcandra, pemerintah sudah mencoba mengupayakan berbagai cara agar Chevron makin mudah pengembangan IDD, termasuk permasalahan perpajakan (branch profit tax) yang sempat dikeluhkan. Namun saying, hingga saat ini belum ada dampak positif.

“Sudah banyak kami (pemerintah) bantu, tapi respon mereka (Chevron) mengecewakan. Karena itu lagi dicari jalannya,” tukas Arcandra.

Proyek IDD merupakan proyek laut dalam pertama di Indonesia yang memiliki tiga kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yakni Ganal, Rapak dan Makassar Strait. Pengembangan dilakukan di lima lapangan, yakni Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.

Tindakan tegas yang bisa dilakukan pemerintah saat ini terbatas, misalnya saja menterminasi kontrak atas alasan tidak memenuhi komitmen. Langkah itu tidak dapat dilakukan karena disisi lain ada salah satu lapangan dalam proyek IDD, yakni Lapangan Bangka yang sudah berproduksi.

“Karena kalau diterminasi pun tidak bisa, Bangka kan sudah dikerjakan dan itu satu paket,” ungkap dia.

Proyek Bangka memiliki kapasitas terpasang sebesar 110 juta kaki kubik gas (MMSCFD) dan 4.000 barel kondensat per hari. Chevron menguasai 62% hak partisipasi di Proyek Bangka dengan mitra joint venture lainnya, yaitu ENI dengan kepemilikan sebesar 20% dan Tip Top sebesar 18%.

Saat ini yang bisa dilakukan pemerintah hanya meminta Chevron untuk segera mempercepat proses pengembangan IDD di Gendalo dan Gehem. Pasalnya, proyek IDD juga termasuk dalam proyek strategis nasional.

Chevron sebelumnya sudah mengajukan Pre Front End Engineering Design (Pre FEED) kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) melalui pengajuan Authority for Expenditure (AFE), namun proses itu juga tidak ada kelanjutannya.

“Tidak jelas (Pre Feed). Mereka responnya pelan, pemerintah kecewa respon pelan terhadap proyek IDD,” tegas Arcandra.

Chevron sudah mendapatkan persetujuan pengembangan IDD pada 2008, namun perusahaan asal Amerika Serikat itu beranggapan tidak lagi bisa menggunakan hasil Plan of Development (PoD) 2008 sebagai patokan dalam kelanjutan studi karena berbagai parameter kajian yang sudah jauh berubah, seperti misalnya harga minyak dunia serta berbagai kebijakan baru pemerintah.

Disisi lain, pemerintah telah menyarankan adanya sinergi antara Chevron dengan ENI Indonesia untuk menekan biaya investasi pengembangan IDD melalui penggunaan bersama fasilitas pengolahan gas terapung atau Floating Processing Unit (FPU) Jangkrik berkapasitas 450 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Fasilitas milik ENI tersebut saat ini digunakan di Blok Muara Bakau, Lapangan Jangkrik.

Namun, rencana terkendala kapasitas FPU Jangkrik yang terbatas yang diperkirakan tidak mampu menampung seluruh produksi gas karena lapangan Gendalo bisa memproduksi gas hingga 700 MMSCFD.(RI)