JAKARTA – Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia

(METI) menilai regulasi baru yang diterbitkan pemerintah di sektor energi baru terbarukan (EBT) menjadikan EBT harus bersaing dengan energi fosil.

“Di sini justru ada pengekangan, tidak ada perbedaan dengan energi lain. Jadi silahkan bersaing energi terbarukan dengan yang lain, kalau sanggup bersaing jalan, kalau tidak sanggup, berhenti,” tegas Surya Darma Ketua METI saat ditemui di Direktorat Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Kamis (10/8).

Menurut Surya Dharma, keluarnya regulasi baru justru bertentangan dengan berkomitmen untuk memberikan berbagai insentif guna mempercepat pengembangan EBT.

Pelaku usaha juga mempermasalahkan pembelian tenaga listrik antara pengembang dan PT PLN (Persero) dengan pola membangun, memiliki, pengoperasikan dan mengalihkan (Build, Own, Operate and Transfer/BOOT) yang artinya harus menyerahkan fasilitas pembangkit ke PLN. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan semangat dalam kaidah berbisnis.

“Bisnis itu kita melakukan kegiatan untuk waktu yang tidak terbatas. Kalau pola ini yang diterapkan maka setelah sekian tahun berhenti,” kata dia.

Dengan skema BOOT, lanjut Surya, pelaku usaha seakan dipaksa untuk dialihkan ke sektor lain. Pasalnya jika tidak beralih maka dipastikan akan berhenti karena harus menyerahkan semua ke PLN. Hal itu sama artinya dengan mematikan bisnis para pengembang.

“Kalau demikian kenapa tidak dilakukan saja sendiri oleh pemerintah seluruhnya. Investasi dari pemerintah saja. Jadi tidak ada kesan tarik menarik,” kata dia.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 yang merupakan revisi kedua dari Permen ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang pemanfaatan EBT untuk penyediaan tenaga listrik.

Salah satu poin dalam Permen 50 adalah ketentuan pemilihan pengembang yang langsung diserahkan kepada PLN. Adapun pemilihan langsung berlaku bagi semua pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan energi baru terbarukan, kecuali PLTSa dan panas bumi memiliki regulasinya sendiri.

Selain itu, poin lainnya adalah pembelian tenaga listrik dilakukan dengan pola kerja sama BOOT.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), menyatakan Permen 50 seakan mencerminkan pemerintah haus akan kekuasaan dan ingin mengendalikan segala sesuatu. Bahkan sampai elemen kecil perjanjian antara PLN dan pengembang.

Dia mencontohkan mekanisme sebelumnya PLN diharuskan melakukan penunjukkan pengembang secara langsung tapi dengan beleid terbaru maka PLN bisa langsung melakukan pemilihan namun niatan untuk mempercepat alur birokrasi percuma karena dalam penentuan tarif harus berdasarkan persetujuan menteri.

“Negosiasi nantinya menteri dilibatkan. Saya bicara atas nama asosiasi PLTA, sepertinya menteri ini ingin memutuskan ini itu, untuk apa? Sampai yang kecil-kecil, Pak Menteri mau masuk itu untuk apa,” tandas Riza.(RI)