JAKARTA- Proses divestasi 10,64% saham PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, kemungkinan besar bakal diperpanjang. Tenggat waktu 14 Oktober 2015 sebagai batas akhir bagi Freeport untuk  melepas sebagian kepemilikan sahamnya kepada pihak Indonesia tidak akan terpenuhi.
 
Pasalnya, hingga Senin (12/14) ini belum ada tanda-tanda kesiapan pemerintah atau badan usaha milik negara atau pun badan usaha milik daerah untuk mengambil saham perusahaan tembaga dan emas terbesar nasional itu. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), badan usaha milik  negara di sektor pertambangan, memang  pernah disebut oleh Menteri BUMN Rini M Soemarno untuk mengambilalih saham divestasi Freeport. Tapi, proses peralihan saham itu tak semudah membalik telapak tangan.
 
Apalagi, Aneka Tambang saat ini tengah menggarap  sejumlah proyek, antara lain smelter di Kalimantan Barat dan di Halmahera, Maluku Utara. Belum lagi dari sisi finansial, Aneka Tambang terkendala karena kemampuan kas dan setara kas perseroan hingga kuartal II 2015 hanya Rp2,03 triliun, turun dibandingkan  periode sama tahun lalu. Kas dan setara kas perseroan ini jauh dari cukup untuk mendanai pembelian saham divestasi Freeport, kecuali perseroan mencari mitra, baik BUMN maupun institusi lain, yang diperkirakan nilainya lebih dari US$ 750 juta.
 
Di sisi lain, pemerintah justru berhasrat agar pelepasan saham Freeport itu melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan divestasi melalui pasar modal adalah proses yang transparan dan dapat mendorong dinamika pasar juga. Karena itu,  pemeirntah akan mencari cara, bagaimana caranya agar divestasi saham Freeport bisa dilakukan melalui IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Divestasi saham tambang melalui IPO memang belum diatur dalam Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu bara. Divestasi saham Freeport, seperti halnya divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan yang terafiliasi dengan Newmont Mining Corp, salah satu perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, masih menggunakan mekanisme penawaran langsung berjenjang, diawali ke pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan atau BUMD, atau ke badan usaha nasional.

Newmont juga melepas kepemilikan saham asing di Nusa Tenggara Partnership BV (dimiliki bersama Newmont  Indonesia Ltd BV dan Sumitomo Corp) secara bertahap, tapi tidak melalui IPO. Sebanyak 24% saham divestasi dibeli oleh PT Multi Daerah Bersaing, konsorsium PT Multi Capital (anak usaha PT Bumi Resources Minerals Tbk) dan PT Daerah Maju Bersaing—perusahaan patungan tiga pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat, yaitu Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Proses divestasi Newmont saat ini menyisakan 7% yang sejak 2010 tak kunjung dieksekusi lantaran terlalu banyak kepentingan, baik perusahaan nasional, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat.
 
Kembali ke soal Freeport. Manajemen Freeport sepertinya lebih mendorong agar divestasi melalui IPO. Maklum, dengan mekanisme IPO lebih transparan, akuntabel dan mudah dipertanggungjawabkan. “Kepemilikannya ke publik karena itu publik bisa ikut memiliki (saham Freeport),” ujar Riza Pratama, Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia.

Proses penawaran saham hingga dapat melalui mekanisme IPO memang cukup panjang. Apalagi  bila mengacu pada Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu bara, saham untuk pertama kali harus ditawarkan ke pemerintah pusat, Pemda, BUMN, BUMD. Bila tak ada yang mengambil baru bisa dilakukan melalui IPO.

Bila mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentangPerubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, yang salah satunya mengatur divestasi saham dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, penawaran saham hanya dapat ditawarkan secara berjenjang kepada pemerintah atau perusahaan Indonesia.

Pasal 97 ayat (2) PPitu menyatakan:
Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan penawaran divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (1b) kepada peserta Indonesia secara berjenjang kepada: Pemerintah yang terdiri atas pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota setempat; BUMN dan BUMD; dan badan usaha swasta nasional. 

Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa divestasi saham, harus ditawarkan terlebih dulu pertama kali kepada pemerintah pusat, bila pemerintah pusat tidak membeli dalam waktu 90 hari, lalu ditawarkan ke pemprov hingga pemkot setempat. Bila setelah 60 hari ditawarkan ke Pemprov/Pemkot tak berminat, maka ditawarkan ke BUMN atau BUMD, sampai akhirnya bila tak ada yang berminat juga, bisa ditawarkan ke perusahaan swasta nasional, bukan perusahaan asing.

Bila pemerintah pusat mengambil 10,64% saham yang ditawarkan, IPO tidak perlu dilakukan.  Karena itu, semuanya bergantung pada landasan hukum dan mekanisme yang berlaku dan jelas.

Freeport-McMoRan  saat ini menguasai sekitar 90,64% saham Freeport Indonesia. Sisanya sebanyak 9,36% dimiliki Pemerintah Indonesia. Hingga 30 Desember 2014, cadangan Freeport Indonesia sebesar 2,27 miliar ton bijih, terdiri dari 1,02% tembaga, 0,83 gram/ton emas, dan 4,32 gram/ton perak.
 
Hingga Juni 2015, Freeport-McMoRan meraup pendapatan US$1,65 miliar dari penjualan emas dan Tembaga produksi tambang Grasberg yang dikelola, PT Freeport Indonesia, naik 50% dibanding realisasi periode yang sama 2014 sebesar US$1,09 miliar. Kenaikan pendapatan Freeport dari tambang Grasberg ditopang kenaikan volume penjualan emas dan Tembaga. Volume penjualan emas naik 104% menjadi 606 ribu ounce sepanjang enam bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama 2014 yang tercatat 297 ounce. Sementara dari sisi harga jual, harga rata-rata emas Freeport turun menjadi US$1.183 per ounce dibanding semester I 2014 sebesar US$1.299 per ounce. Total pendapatan Freeport dari penjualan emas di Indonesia tercatat US$716,89 juta, naik hampir dua kali lipat dibanding semester I 2014 yang tercatat US$385,8 juta.
 
Freeport juga mencatat kenaikan volume penjualan tTembaga sepanjang semester I 2015 sebesar 55,3% menjadi 351 juta pounds dibanding periode yang sama 2014 sebesar 226 juta pounds. Sementara itu, harga jual tembaga Freeport tercatat turun menjadi US$2,66 per pounds dibanding semester I 2014 sebesar US$ 3,15 per pounds. Total pendapatan Freeport dari penjualan Tembaga produksi Grasberg tercatat US$933,66 juta sepanjang semester I 2015, naik 31,1% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$711,9 juta.
 
Kenaikan pendapatan dari penjualan emas dan tembaga dari tambang Grasbergikut mendongkrak kontribusi pendapatan Freeport Indonesia terhadap pendapatan Freeport McMoRan yang tercatat sebesar 19,6% dari total pendapatan yang mencapai US$8,4 miliar sepanjang Januari-Juni 2015. Pada periode yang sama tahun lalu kontribusi Freeport Indonesia terhadap pendapatan konsolidasi Freeport McMoran tercatat hanya 10,4%.(DR)