JAKARTA – Pemberian tambahan split dinilai menjadi solusi agar delapan blok terminasi tetap bisa dikelola PT Pertamina (Persero) seiring perubahan skema kontrak bagi hasil dari cost recovery menjadi gross split.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan keputusan pemerintah yang ditengah jalan merubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari cost recovery menjadi gross split seharusnya dikompensasi dalam bentuk split tambahan bagi Pertamina. Pasalnya perusahaan plat merah tersebut sudah terlanjur menyatakan kesiapan untuk mengelola kedelapan blok dengan menggunakan skema cost recovery.

“Inti masalahnya dihitungan keekonomian yang belum pasti, sebagai akibat dari keharusan menggunakan gross split dan keharusan untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan kontraktor lama,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Senin (12/6).

Pertamina telah meminta tambahan waktu kepada pemerintah untuk menghitung ulang keekonomian delapan blok yang diserahkan pengelolaannya ke Pertamina pada 2018.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan tambahan waktu diperlukan karena Pertamina harus menghitung ulang nilai keekonomian masing-masing lapangan. Pasalnya keekonomian yang ada berdasarkan perhitungan dengan skema cost recovery.

“Kita minta tambahan waktu kira-kira satu bulan, akhir Juni ini mudah-mudahan sudah ada keekonomiannya,” kata Syamsu.

Penggunaan skema gross split dengan tidak adanya penggantian biaya investasi karena ditanggung seluruhnya oleh kontraktor dinilai memberatkan kontraktor. Apalagi kebijakan baru lain yakni kewajiban kontraktor baru di suatu blok migas harus mengganti biaya investasi kontraktor lama yang telah masuk masa terminasi atau habis masa kontrak. Hal itu dilakukan agar produksi di blok yang masuk masa terminasi tidak turun.

Menurut Pri Agung, keharusan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor lama membuat posisi Pertamina untuk mengelola keseluruhan blok menjadi tidak realistis.
“Karena kontraktor lama kan ketika bekerja tidak melibatkan Pertamina, tetapi biaya nantinya menjadi beban Pertamina,” ungkap dia.

Potensi keberadaan calon investor baru untuk mengelola delapan blok juga bukan solusi utama dalam pemecahan masalah karena calon investor baru yang disebut pemerintah berminat belum tentu menawarkan dan bisa berkomitmen lebih baik dari Pertamina.

Pri mengungkapkan untuk posisi Indonesia sekarang ini tidak bisa hanya menjanjikan cost yang lebih rendah, tetapi juga komitmen menghasilkan penemuan cadangan dan meningkatkan produksi.

“Tidak tertutup kemungkinan jika nanti ada investor menyatakan sanggup tetapi setelah blok diserahkan justru kembali meminta tambahan split dan insentif lain yang pada akhirnya permintaan tersebut melebihi yang diminta Pertamina,” kata dia.(RI)