JAKARTA – Pemerintah diminta proaktif untuk meyakinkan dan memberikan stimulus kepada kontraktor migas untuk segera melaksanakan kewajibannya, terutama terkait kelanjutan eksplorasi blok minyak dan gas (migas). Salah satu blok yang berpotensi besar adalah pengembangan proyek  migas laut dalam atau Indonesia Deepwater Development (IDD) Lapangan Gendalo dan Gehem yang dikelola PT Chevron Pacifik Indonesia.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Reforminer Institute, menyatakan pemerintah seharusnya mempunyai sikap dan ketegasan sebagai pemilik sumber daya alam, apalagi investasi di sektor minyak dan gas sebenarnya dilandasi saling memerlukan.
“Pemerintah harus tetap meminta Chevron untuk segera menyerahkan revisi plan of development (POD) dengan tenggat waktu tertentu,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi.

Chevron dalam proyek IDD di Selat Makasar sebenarnya sudah pernah mengajukan PoD, bahkan disetujui pemerintah pada 2008.  Namun seiring perjalanan waktu pada 2013 setelah tahap front end engineering design (FEED), biaya yang dibutuhkan proyek ini meningkat dari sekitar US$6,9 miliar menjadi US$12 miliar. Chevron kemudian langsung merevisi PoD tersebut dengan menambahkan permintaan credit investment.
Saat revisi proposal revisi itu diserahkan,  pemerintah selalu menolaknya. Hal itu karena proposal tidak lengkap secara adminstrasi dan pihak Chevron meminta insentif yang tidak ada dalam kontrak, yakni credit investment.

Chevron meminta investment credit atau hak ganti rugi kepada pemerintah dengan persentase yang sangat tinggi yakni sebesar 240%. Padahal, maksimal investment credit yang diminta KKKS itu hanya 100%.

Tunggal, Direktur Pembinaan Hulu Kementerian ESDM, menyatakan untuk proses revisi PoD , kontraktor akan berkoordinasi dengan SKK Migas dan dilanjutkan dengan konsultasi bersama Kementerian ESDM untuk diambil keputusan. “Revisi PoD ada di SKK Migas, nanti jika sudah oke baru di proses di ESDM,” kata dia.
Saat dikonfirmasi, SKK Migas menyatakan proyek IDD Bangka tidak bisa dipaksakan akibat nilai keekonomian lapangan yang masih sangat rendah. Jika terus dipaksakan maka ini juga akan berdampak pada penerimaan negara.
“Setahu saya belum dikembalikan dengan harga minyak sekarang blok itu tidak ekonomis untuk dikembangkan,” kata Taslim Z Yunus, Kepala Humas SKK Migas saat dihubungi Dunia  Energi.

Menurut dia, sensitifitas keekonomian suatu lapangan harus ditinjau dari tiga hal. Pertama dari harga minyak yang memang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Kemudian harus dilihat juga dari reserve atau cadangam migas untuk diproduksikan. Serta nilai investasinya. “Jadi harus dia (Chevron) lihat lagi dua poin terakhir itu,” tandas Taslim.(RI)