JAKARTA – Pemerintah diminta memperjelas kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia dan menentukan mekanisme compliance dan penalti, jika anak usaha Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu gagal melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan.
“Misalnya, gagal membangun smelter pada 2022 atau telat melakukan divestasi 51%, dan sebagainya,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis (31/8)
Menurut Fabby, dua kesepakatan mengenai divestasi dan pembangunan smelter hingga sekarang belum terealisasi dengan baik. Terlebih jika pokok-pokok kesepakatan belum tertuang dalam hitam di atas putih yang ditandatangani  kedua belah pihak.
Pemerintah Indonesia menyatakan telah mencapai kesepatakan final dengan PT Freeport Indonesia dalam pertemuan Minggu,  27 Agustus 2017 yang dihadiri Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah Indonesia dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jajaran Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, serta wakil dari Kementerian terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian LHK, Kementerian BUMN, Sekretariat Negara, dan BKPM. Dari pihak Freeport hadir President dan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson dan direksi PT Freeport Indonesia, dengan agenda finalisasi kesepakatan atas penyelesaian perselisihan yang terjadi setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Aryanto Nugroho, Manajer advokasi Publish What You Pay Indonesia, mengingatkan agar pemerintah jangan terlalu sering memberikan toleransi tanpa batas kepada Freeport di tengah progres komitmen yang tersendat, misalnya pemberian izin ekspor konsentrat tanpa mensyaratkan perkembangan pembangunan smelter atau pelonggaran tarif bea keluar seperti yang diindikasikan beberapa waktu lalu.
“Apalagi, jika ditengarai pemerintah justru mengambil tindakan yang justru bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia,” kata Aryanto.
Di sisi lain, Publish What You Pay menyesalkan proses perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Freeport yang mengesampingkan pertimbangan lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal dan terdampak dalam pembahasan.
Aryanto mengatakan, hingga saat ini belum jelas langkah pemerintah dalam menindaklanjuti indikasi enam pelanggaran lingkungan yang dilakukan Freeport.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Penerapan Kontrak Karya Freeport periode 2013-2015. Diantaranya mengenai penggunaan kawasan hutan lindung, kelebihan pencairan jaminan reklamasi, penambangan bawah tanah tanpa izin lingkungan, kerusakan karena pembuangan limbah di sungai, muara dan laut, hutang kewajiban dana pascatambang dan penurunan permukaan akibat tambang bawah tanah. BPK menghitung potensi kerugian negara oleh Freeport senilai Rp185,563 triliun. Yang jika diperbandingkan, nilai lebih besar dari angka tawaran divestasi 10,64% saham Freeport di awal 2016.
Maryati Abdullah, Koordinasi PWYP Indonesia, mengatakan poin kesepakatan antara pemerintah dan Freeport masih perlu dirinci lebih lanjut, untuk memberikan kepastian yang lebih baik bagi pengelolaan dan kedaulatan pertambangan nasional. Hal tersebut mengingat bahwa kewajiban divestasi dan pembangunan smelter bukanlah hal baru, kedua hal tersebut telah tercantum di dalam Kontrak Karya dan persetujuan sebelum izin konsentrat diberikan pemerintah. Banyak arena critical yang masih kosong dan rawan terjadinya perselisihan ataupun deadlock yang patut diwaspadai oleh pemerintah dan memerlukan pengawasan publik, termasuk pengawasan oleh DPR.
Menurut Maryati, kedua kewajiban tersebut sejatinya sudah terpenuhi pada tahun ini. Yang sangat disayangkan,  pemerintah terkesan mengejar divestasi 51% di tengah kontrak yang menjelang habis pada 2021. Saat itu, cadangan mineral Freeport di Papua menjadi milik Indonesia semua.
Logikanya, bukankah ini hampir mirip dengan meminta Indonesia membiayai pembangunan smelter melalui divestasi hingga 51%,” tandas Maryati.(RA)