JAKARTA – Pemerintah diminta menciptakan iklim bisnis yang kondusif pada bisnis niaga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air dengan mengharuskan setiap pemain baru mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan keputusan pemerintah membiarkan PT Vivo Energy Indonesia menjual BBM dengan oktan rendah yang tidak jauh berbeda dengan Premium yang merupakan BBM penugasan dari pemerintah tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apalagi harga BBM yang ditawarkan justru lebih murah dari harga Premium yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dinilai justru bisa menjadi bomerang bagi pemerintah.

“Dengan harga Rp 6.100 per liter, publik akan bertanya yang menentukan harga pemerintah, berarti pemerintah salah hitung dong. Kok bisa Vivo lebih murah,” kata Mamit, Rabu (1/11).

Untuk bisa menghilangkan stigma negatif tersebut iklim usaha harus diperbaiki dengan jalan bersikap adil. Pemerintah yang menetapkan harga RON 88 yang didistribusikan PT Pertamina (Persero) juga berdasarkan formula yang juga memasukan pertimbangan Pertamina yang harus mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia dan pasti membutuhkan dana tidak sedikit.

“Kalau mau di penugasan juga kalau bisa jangan di daerah gemuk saja, tapi harus lebih luas cakupannya,” kata dia.

Mamit menambahkan banyaknya pertanyaan yang timbul dengan kehadiran BBM Revvo 89 dari Vivo cukup beralasan. Apalagi penggantian oktan dari 88 ke 89 hanya berlangsung dalam selang beberapa hari. Hal itu cukup disangsikan karena untuk bisa memblending suatu BBM diperlukan proses yang tidak sembarangan.

Pertamina saja untuk bisa meluncurkan BBM jenis Pertalite yang memiliki research octane number (RON) 90 membutuhkan yang cukup panjang karena harus melalui serangkaian tes.

“Makanya kita cek saja bawa ke lab bener tidak kandungannya, karena pada saat Pertamina menyodorkan RON 90 Pertalite saja itu ketat sekali lama prosesnya bahwa itu RON-nya 90,” papar Mamit.

Selain itu, pertanyaan lain yang timbul adalah sumber pasokan dari BBM beroktan 89 milik Vivo. Apalagi hingga sekarang dari data yang dimilikinya hanya tersisa dua negara yang memasarkan BBM dengan oktan rendah yakni Kamboja dan Indonesia.

Menurut informasi yang diterima, Vivo mendapatkan pasokan BBM dari beberapa fasilitas, yakni kilang penyimpanan di Fujairah Uni Emirat Arab dan Geelong Australia, lalu fasilitas blending di Tanjung Bin Malaysia serta fasilitas pencampuran kondensat di Aceh, Indonesia.

Keputusan pemerintah untuk kembali mengizinkan perusahaan lain berjualan BBM oktan rendah saja sudah menjadi sebuah pertanyaan lain. Komitmen pemerintah untuk bisa menciptakan lingkungan bersih dengan meningkatkan BBM berstandar kualitas tinggi tentu menjadi diragukan.

“Ketika seluruh dunia bahkan sekarang sudah mau Euro 4 kita isitilahnya balik lagi ke jaman batu dengan meresmikan SPBU yang gunakan BBM oktan rendah. Bahkan untuk Euro 2 aja belum,” kata dia.

Fahmy Radhi, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada yang juga mantan anggota tim reformasi migas menyatakan dalam regulasi yang ada memang Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum (IUNU) BBM bisa menjual BBM dengan RON89 secara legal di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, agar ada perlakukan adil dengan Pertamina, yang menjual RON88 hampir serupa dengan RON89, pemerintah juga harus memberikan penugasan kepada Vivo, tidak hanya menyalurkan BBM penugasan, tetapi juga menjalankan kebijakan BBM Satu Harga, sebagaimana dibebankan kepada Pertamina.

“Kalau Vivo bersedia mendistribusikan BBM murah untuk rakyat dalam BBM Satu Harga, maka kebijakan BBM satu harga bisa dipercepat penerapannya di seluruh wilayah Indonesia,” tandas Fahmy.(RI)