JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan kewajiban kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menawarkan jatah produksi minyaknya kepada PT Pertamina (Persero). Sebelum bisa terlaksana, Pertamina harus melakukan negosiasi harga dengan kontraktor. Namun sejak ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, belum ada tindak lanjut berarti lantaran masih harus menunggu klarifikasi perpajakan.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan yang menjadi fokus pemerintah untuk bisa dipastikan masalah perpajakan adalah penjualan minyak milik PT Chevron Pacific Indonesia, lantaran produksi minyak yang menjadi jatah Chevron merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia.

“Chevron minta klarifikasi dengan pajak. Kami sudah ketemu dengan Dirjen Pajak  bersama SKK Migas. Dirjen Pajak janji akan mempelajari untuk ketentuan pajak, setelah nanti ada  respon dari Dirjen Pajak baru kami sampaikan ke Chevron,” kata Djoko di Kementerian ESDM, Rabu (19/9).

Menurut Djoko, selama belum ada klarifikasi resmi dari Dirjen Pajak maka negosiasi harga tidak akan bisa dilakukan.

Dengan produksi keseluruhan diatas 200 ribu barel per hari (bph) maka jatah minyak Chevron yang wajib ditawarkan ke Pertamina hampir 50% dari produksi mencapai 100 ribu bph

“Iya memang fokus kami Chevron. Itu dulu karena besar yang bisa dibeli hampir 100 ribu bph yang bisa dibeli,” ungkap dia.

Selain Chevron, kontraktor lain telah terlebih dulu melakukan kontak dengan Pertamina terkait negosiasi harga seperti Premiere Oil, Energi Mega Persada (EMP).

“Kalau yang lain kan tidak ada masalah seperti EMP jalan, Premiere Oil, kargo berikutnya sudah dijual ke Pertamina. Yang besar Chevron, kami fokus ke Chevron yang lain biar business to business saja,” tukas Djoko.

Minyak jatah kontraktor yang nantinya bisa dibeli Pertamina menjadi salah satu upaya pemerintah menekan nilai impor tinggi yang sebabkan defisit neraca perdagangan.

Pemerintah memproyeksikan impor minyak bisa berkurang sekitar 225 ribu – 230 ribu bph dengan pembelian minyak jatah kontraktor.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM mengakui negosiasi antara Pertamina dan  kontraktor belum optimal lantaran masalah pajak. Kementerian ESDM sudah mengirimkan surat khusus ke dirjen pajak untuk meminta kejelasan permasalahan pajak. “Sudah kami surati dirjen pajak, untuk klarifikasi,” kata Arcandra.

Bisa Diolah

Djoko menegaskan minyak jatah kontraktor tidak ada yang tidak bisa diolah dikilang dalam negeri. Tidak ada alasan bagi kontraktor menolak menawarkan minyaknya ke Pertamina dengan alasan jenis minyaknya yang diproduksikan tidak sesuai dengan spesifikasi minyak yang diminta Pertamina.

“Semua lapangan minyak di Indonesia ada yang bagian negara, nah untuk bagian negara itu 100% bisa diolah di dalam negeri. Artinya dengan minyak yang sama bagian kontraktor juga bisa dikelola disini,” tegas Djoko.

Dia menambahkan tidak akan menerima alasan kontraktor yang mengklaim spesifikasi minyak berbeda dan nantinya tidak bisa diolah di kilang Pertamina. Alasan perbedaan jenis minyak adalah cerita masa lalu yang tidak lagi bisa digunakan saat ini.

“Jadi enggak ada lagi istilah minyak kontraktor tidak bisa diolah dikilang dalam negeri, itu bohong. Enggak bener,” tandas Djoko.(RI)