JAKARTA- Keinginan manajemen PT Pertamina Hulu Energi (PHE) untuk meningkatkan tambahan bagi hasil atau split sebesar 14,5% untuk pengelolaan Blok Offshore North West Java (ONWJ) masih dievaluasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pasalnya, tambahan split kontraktor belum mengakomodasi biaya yang tak mengalami penyusutan (undepreciated cost) pada blok tersebut ketika menggunakan kontrak bagi hasil cost recovery.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan pemerintah harus mengevaluasi masalah itu. Maklum, Peraturan Menteri No 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Gross Split menyatakan bila pada kontrak cost recovery yang digunakan sebelumnya masih terdapat biaya yang tak bisa diganti (unrecovered cost) pemerintah akan mengonversi biaya tersebut berupa tambahan split bagi kontraktor pada kontrak gross split. Mengacu pada pasal 7 Permen 8/2017, pemerintah harus melihat skala ekonominya terlebih dahulu sebelum mengurangi split pemerintah.

“Pemberian split bagi kontraktor maksimum sebesar 5%, sesuai diskresi atas dasar keekonomian,” ujar Arcandra.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pemerintah membuka peluang untuk menambahkan split bagi PT Pertamina Hulu Energi ONWJ selama kontraktor memiliki alasan kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. “Bisa, memungkinkan untuk insentif tambahan ini sepanjang alasannya kuat,” kata Jonan kepada Dunia-Energi, akhir pekan lalu.

Permintaan penambahan insentif split oleh PHE ONWJ adalah buntut dari ketidakjelasan pembayaran pengembalian biaya terhadap investasi untuk barang modal atau peralatan selama pengelolaan blok ONWJ karena kontraktor berubah skema dari cost recovery menjadi skema gross split.

Menurut Jonan, nilai depresiasi sewajarnya adalah menjadi tanggungan kontraktor karena masih dalam status aset kontraktor, namun tidak menutup kemungkinan untuk bisa dilakukan pengkajian sekaligus dilakukan audit. “Seharusnya kalau seperti itu menjadi aset mereka, tapi kita akan lihat, nanti diaudit dulu,” tukasnya.
Wilayah Kerja (WK) ONWJ merupakan WK yang pertama kali menggunakan skema kontrak bagi hasil Gross Split. Dalam kontrak tersebut bagi hasil (final split) antara Pemerintah dengan kontraktor adalah 42,5%:57,5% untuk minyak serta 37,5%: 62,5% untuk gas.

Meskipun memiliki bagi hasil yang lebih besar namun kontraktor dalam skema gross split harus menanggung seluruh biaya eksplorasi dan produksi tanpa diganti nantinya oleh pemerintah.

Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama PHE, mengatakan pihaknya meminta pemerintah mengkaji tambahan insentif untuk mengelola Blok ONWJ. Hal itu menjadi konsekuensi pemerintah yang sebelumnya menggunakan skema cost recovery karena belum membayar investasi PHE selama mengelola blok ONWJ.

PHE mengklaim undepreciated cost sebesar US$ 453 juta belum dibayarkan oleh pemerintah. Jumlah sebesar itu dinilai cukup berpengaruh terhadap beban tambahan yang ditanggung kontraktor.

Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama PHE saat dikonfirmasi menyatakan besaran undepreciated cost adalah akumulasi dari beberapa tahun pengadaan barang atau peralatan yang dilakukan oleh PHE saat masih menggunakan skema cost recovery yang terakumulasi setiap tahun hingga angkanya mencapai US$ 453 juta.

Untuk itu dia meminta pertimbangan pemerintah dalam menalangi biaya tersebut, apalagi PT Energi Mega Persada (EMP), mitra PHE dalam mengelola blok ONWJ juga meminta biaya tersebut. “Partner kami dulu EMP juga minta dikembalikan. Dia kan merasa punya hak itu kan sebagian punya mereka,” katanya.

Kontrak pengelolaan Blok ONWJ pertama kali ditandatangani pada 18 Agustus 1966 dengan periode efektif mulai 19 Januari 1967 hingga 18 Januari 1997. Selanjutnya, pada 23 April 1990 dilakukan amendemen dan perpanjangan kontrak dengan periode efektif 19 Januari 1997 hingga 18 Januari 2017. Cadangan minyak wilayah kerja ONWJ sebesar 309,8 juta barel oil ekuivalen dan 1.114,9 miliar standar kaki kubik gas. (RI)