JAKARTA – Pemerintah diminta menunda keputusan penetapan operator Blok Rokan lantaran payung hukum yang mewadahi dinilai cacat hukum. Kontrak pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia di Blok Rokan akan berakhir pada 2021.

Kardaya, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan regulasi yang ada saat ini harus dibenahi terlebih dulu sebelum memutuskan pengelolaan Blok Rokan atau blok lain yang akan berakhir kontraknya (terminasi). Pemberlakuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 23 Tahun 2018 dinilai bertentangan dengan peraturan diatasnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 serta undang-undang migas yang mengamanatkan pengelolaan migas harusnya dikuasai negara.

“Permen tersebut bertentangan dengan UU. Di dalam UU disebutkan tujuan pengembangan minyak bumi harus berpihak untuk kepentingan nasional,” kata Kardaya di Jakarta, Senin (30/7).

Permen ESDM Nomor 23 justru menyebutkan kontraktor eksisting diberikan kesempatan terlebih dulu untuk melakukan penawaran terhadap blok migas. Serta memberikan kesempatan berikutnya ke PT Pertamina (Persero). Beleid ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, yakni Permen ESDM Nomor 15/2015 yang memberikan Pertamina kesempatan pertama ditawarkan, apakah berminat mengelola blok terminasi atau tidak. Jika tidak berminat maka kontraktor lain ataupun eksisting baru ditawarkan.

Menurut Kardaya, kepentingan nasional negara memiliki instrumen berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini Pertamina untuk bisa menguasai kekayaan minyak dan gas. Tapi yang terjadi sekarang ini pemerintah sudah memberikan gambaran akan keberpihakan terhadap kontraktor eksisting,  Chevron untuk melanjutkan pengelolaan Blok Rokan.

“Arahnya sudah diberikan ke Chevron. Misalnya pernyataan menteri ESDM, harus dilakukan full scale EOR di Rokan,” ungkap dia.

Padahal, menurut Kardaya, EOR (Enhanced Oil Recovery)  di Rokan tepatnya di lapangan Minas sejauh ini juga masih tahap pilot project, sehingga Chevron yang harus melakukan full scale juga tidak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama untuk memberikan hak pengelolaan tersebut.

Disisi lain, Pertamina sudah memenuhi syarat untuk bisa mengelola blok Rokan. Apalagi Pertamina sudah menyatakan niat dan mempersiapkan dengan program-programnya. Sesuai dengan UU yang berlaku, pemerintah tidak berhak menolak usulan Pertamina.

“Pemerintah bisa menolak, jika (Pertamina) tidak menyampaikan program secara logis. Kedua dukungan keuangan, (cash flow positif) lalu sumber daya manusia dan teknologi. Ini semua ketiganya sudah dimiliki Pertamina,” tegas Kardaya.

Jika kemampuan Pertamina dari sisi teknologi diragukan, Pertamina bisa saja memberdayakan para pegawai Chevron atau mendatangkan ahli teknik minyak lainnya selama produksi meningkat dan tinggi. “Kalau harus EOR, silahkan panggil aja expert-nya. Chevron juga bisa kita bayar,” ungkap Kardaya.

Arie Gumilar, Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), menegaskan selama ini pemerintah melecehkan kemampuan Pertamina dengan kerap kali membanding perusahaan “seven sister” dengan Pertamina, terutama dari sisi keuangan. Padahal ada tindakan tidak adil yang dilakukan pemerintah dengan memaksa Pertamina menanggung beban harga jual BBM jenis Premium, meskipun sudah tidak lagi disubsidi.

“Pertamina dinilai tidak mampu. Ini didesain oleh pemerintah sendiri. Misalnya BBM, sehingga keuangan Pertamina terganggu,” tandas Arie.(RI)