JAKARTA – Pemerintah diminta untuk mengevaluasi klausul dalam kontrak kerja sama blok minyak dan gas dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Tindakan tegas dalam kontrak diperlukan untuk menghindari susahnya negara meminta hak dari kontraktor terhadap wilayah kerja yang sudah mengalami terminasi.

“Pemerintah sama sekali belum tegas saat ini. Masih banyak kewajiban KKKS yang belum dipenuhi, tapi pemerintah tetap saja pasif,” kata Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra kepada Dunia Energi, Selasa (1/11).

Aktivitas industri hulu migas.

Negara berpotensi dirugikan dari tunggakan kewajiban dari para kontraktor blok migas yang sudah diterminasi. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak Rp 4,4 Triliun  belum juga dibayarkan para kontraktor sebagai sisa kewajiban firm commitment, salah satunya adalah signature bonus.

Teguh Pamudji, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan terminasi blok-blok migas yang banyak terjadi karena sebenarnya kegiatan eksplorasi belum tuntas secara sempurna. Namun karena tidak ditemukan cadangan besar para kontraktor memilih untuk meninggalkan blok tersebut.

“Karena tidak menemukan minyak dan diyakini tidak menemukan komersial migas, mereka ajukan terminasi. Tapi banyak yang belum bayar kewajiban,” kata Teguh.

Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM juga telah melaporkan kasus ini ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) setelah dikirim surat penagihan sebanyak tiga kali.

Menurut Teguh, Kementerian ESDM juga telah berkoordinasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) untuk bisa terus melakukan penagihan.

“Tetap kita akan kejar terus, kita akan koordinasi juga dengan SKK Migas,” kata dia.

Pemerinah sendiri juga memilih untuk melakukan langkah preventif agar tidak lagi bekerja sama dengan kontraktor yang tidak kredibel. Saat ini untuk menentukan kontraktor yang berhak mengelola wilayah kerja migas, selain uji teknis juga dilakukan uji kemampuan finansial yang dilakukan akuntan publik.

Harry mengatakan guna memberikan efek jera serta menunjukkan sikap tegas negara terhadap KKKS pengemplang kewajiban, pemerintah diminta tidak segan-segan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. “Tuntut lewat pengadilan atau arbitrase sesuai pasal perjanjian kontrak,” tandas dia.(RI)