JAKARTA – Revisi kebijakan untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas akan menjadi sia-sia, jika tidak ada komitmen dalam implementasi dari sistem yang telah dibuat sebelumnya.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan pemerintah jangan sampai terjebak dalam kondisi terlalu mudah mengubah kebijakan sebagai jalan pintas terhadap suatu masalah. Konsistensi dalam menjalankan kebijakan yang telah ada lebih baik dibanding terus melakukan perubahan tanpa ada implementasi yang jelas.

Kepastian dalam berusaha tentu menjadi dipertanyakan jika hanya dalam waktu singkat terjadi revisi regulasi atau kebijakan. Beberapa kebijakan baru seperti terkait audit cost recovery, tidak akan berdampak signifikan jika implementasinya tidak optimal.

“Berdampak jadi bagus (investasi)? Tidak, biasa saja karena hal semacam ini (penerbitan berbagai aturan) sudah lama terjadi,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (3/4).

Menurut Pri Agung, dari sisi efisiensi waktu tentu bisa dinilai positif karena tidak perlu lagi pemeriksaan dilakukan lembaga untuk satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun tetapĀ  masih harus dinantikan efektivitasnya.

“Tergantung implementasi aturannya nanti. Kalau mau lebih cepat mestinya konsisten dengan sistem kontrak yang dianut saja,” ungkap dia.

Pri menambahkan, kondisi otak-atik kebijakan dan regulasi yang menimbulkan ketidakpastian dalam berbisnis berakar dari kesalahan penerapan cost recovery pada masa lalu, dimana cost recovery dipandang sebagai bagian dari keuangan negara sehingga institusi pemerintah ikut serta secara langsung di dalam penentuan dan penetapannya. Padahal cost recovery itu adalah hal bisnis, ditentukan di ranah bisnis antara KKKS dengan pihak wakil negara yang berkontrak.

“Dalam hal ini mestinya ya SKK Migas saja sebagai wakil dari negara. Tapi, karena sudah salah kaprah sedemikian lama, akibat UU Migas 22/2001, yang berkontrak jadinya badan pemerintah dan secara tidak langsung cost recovery dianggap sebagai bagian dari keuangan negara,” kata dia.

Ujung dari salah kaprah itu kemudian berlanjut dengan kemudian muncul aturan-aturan yang demikian itu, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) 79/2010 itu.

“Sehingga saya menilai kondisi maju mundur jalan di tempat hanya berkutat di masalah yang sama terus saja aturan bergonta ganti, tetap saja sanctity of contract cenderung tidak dihormati, imbasnya ke ketidakpastian, dalam kasus ini ketidakpastian fiskal,” ungkap Pri Agung.

Menurut Pri, yang harus diperbaiki seharusnya pada sistem pada saat implementasi, bukan justru terus merevisi kebijakan. Belum lagi jika saat implementasi berbelit itu akan menjadi permasalahan tersendiri.

“Dari dulu kan harusnya seperti itu, bukan sistem yang kemudian diintervensi dengan berbagai aturan. Seringkali dikatakan insentif, tapi implementasinya berbelit jadinya tidak efektif juga,” tandas Pri.(RI)