JAKARTA- Pemerintah diminta konsisten dan memberi sanksi bagi pemerintah kabupaten (pemkab) yang tidak menyerahkan data-data perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada provinsi.Penyelesaian penataan IUP bermasalah terancam molor karena banyak dokumen perizinan yang masih tertahan di pemkab.

“Penegakan aturan tidak efektif kalau pelaksananya tidak bisa menegakan aturan itu sendiri,” kata Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS) kepada Dunia Energi, Kamis (6/10).

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, dokumen paling lambat diserahkan dari bupati/walikota ke gubernur pada 2 Oktober 2016.

Heriyanto, Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bupati yang belum melimpahkan dokumen IUP ke gubernur telah melanggar undang-undang. Meskipun dokumen yang diterima pemerintah provinsi terlambat, waktu maksimal yang dimiliki gubernur untuk melakukan evaluasi tetap selama 90 hari. Artinya, semakin lama dokumen diserahkan, maka penyelesaian penataan IUP bermasalah tersebut akan semakin molor.

Hingga saat ini, baru sekitar 1.000 IUP yang bermasalah atau non-celan andclear (C&C) yang selesai dievaluasi oleh gubernur dan diserahkan ke pemerintah pusat. Ketidaksesuaian ketentuan dalam UU 23/2014 dan UU 4/2009 dianggap menjadi salah satu penyebab lamanya dokumen tersebut diserahkan. Pasalnya, dalam UU Nomor 4 Tahun 2009, kewenangan perizinan tambang masih dipegang oleh bupati. Sementara itu, koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum berjalan optimal.

Data Kementerian ESDM menyebutkan hingga akhir Juli lalu, terdapat 10.388 IUP yang 4.023 di antaranya belum berstatus C&C.Namun, tidak semua IUP non-C&C tersebut akan dicabut. Sebagian IUP tersebutkan diberikan status C&C apabila berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, perusahaan yang bersangkutan dianggap telah memenuhi seluruh persyaratan.

“Kebijakan hilirisasi tidak dapat dimaknai hanya sebatas larangan ekspor mineral mentah (raw material) atau olahan (konsentrat), akan tetapi merupakan bagian dari upaya melakukan penataan IUP yang jumlahnya mencapai ribuan dengan status Non Clean and Clear (CnC),” tandas Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia.(RA)