JAKARTA – Posisi PT Pertamina (Persero) untuk mendapat hak pengelolaan di Lapangan Sukowati dan Blok Tuban secara keseluruhan dinilai sangat kuat. Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2015 cukup jelas dan memberikan keistimewaan (previlese) kepada Pertamina.

“Dari aspek mekanisme right to match, Pertamina juga berhak mendapatkan prioritas karena memegang share yang paling besar,” kata Komaidi Notonegoro, Pengamat Migas dari Reforminer Institute, Minggu (18/2).

Saat ini Joint Operation Body (JOB)  PT Pertamina Hulu Energi-PetroChina East Java (PPEJ), operator Blok Tuban mengelola Lapangan Mudi, Blok Tuban dan unitisasi Sukowati yang notabene-nya milik PT Pertamina EP hingga 28 Februari 2018. Hak partisipasi Lapangan Sukowati 80% dikuasai Pertamina EP melalui PT Pertamina EP Asset 4 dan sisanya dikuasai PPEJ.

Menurut Komaidi, Petrochina hanya berkontribusi 25% dari 20% hak partisipasi PPEJ di Lapangan Sukowati karena 80% dikuasai PHE. Dari kondisi yang ada harusnya tidak perlu ada keraguan pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan Blok Tuban kepada Pertamina

Menurut Satya Widya Yudha, Anggota Komisi VII DPR, menegaskan setelah dimenangkan Pertamina dan Pertamina melakukan sharedown, maka 100% hak Pertamina dalam mengelola blok terminasi. “Pokoknya Pertamina pemegang first right refusal,” tegas Satya.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta segera memutuskan status unitisasi Lapangan Sukowati yang saat ini dikelola Joint  Operation Body (JOB) Pertamina PPEJ pasca berakhirnya kontrak pengelolaan Blok Tuban pada 28 Februari 2018. Apalagi Pertamina yang telah ditunjuk sebagai pengelola Blok Tuban pasca berakhirnya kontrak telah menyatakan untuk menyerahkan pengelolaan Lapangan Sukowati ke Pertamina EP.

“Pelepasan Sukowati sebaiknya segera diputuskan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian hukum di Indonesia berkaitan dengan industri migas,” ujar Imam Prihadono, Pengamat Hukum Migas Universitas Airlangga Surabaya.

Menurut Imam, kelambanan pemerintah untuk memutuskan justru dapat menimbulkan kontroversi adanya kepentingan tertentu yang bermain dibalik penentuan pengelolaan Lapangan Sukowati.

Dari total produksi PPEJ yang mencapai 9.000-10.000 barel per hari, sebesar 90% berasal dari Lapangan Sukowati. Namun seiring berakhirnya kontrak Blok Tuban, maka skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC)-nya pun berubah menjadi gross split. Sementara untuk Lapangan Sukowati tetap menggunakan skema cost recovery.

Menurut Imam, pemisahan atau split dimungkinkan, namun perlu disepakati bersama dengan mitra. Jika tidak maka dapat menimbulkan sengketa dikemudian hari. Solusi lainnya dari split, dijadikan satu namun pengelolaan sebaiknya diserahkan kepada Pertamina.

Kelambanan pemerintah untuk memutuskan unitisasi Lapangan Sukowati dari Blok Tuban bisa jadi karena keinginan pemerintah untuk tetap mengikutsertaan Petrochina dalam pengelolaan Blok Tuban. Meski dalam beberapa tahun terakhir, Petrochina justru tidak melakukan investasi, sehingga produksi Blok Tuban dan khususnya Sukwoati turun terus.

Imam mengatakan investasi asing sedang diperlukan oleh Indonesia untuk banyak sektor. Tidak hanya di migas, tetapi juga sektor lain seperti infrastruktur, manufaktur bahkan pertanian. “Sehingga kemudahan investasi di sektor tertentu mungkin akan berpengaruh pada investasi di sektor lain. Mungkin ini yang menjadi pertimbangan pemerintah,” kata dia.

Pemerintah juga telah menunjuk PPEJ untuk mengelola Blok Tuban, termasuk Lapangan Sukowati hingga penandatanganan kontrak PSC yang baru dilakukan. Blok Tuban merupakan satu dari delapan blok yang habis kontrak (terminasi) yang akan dikelola Pertamina. Tujuh blok lainnya adalah Blok North Sumatera Offshore (NSO), North Sumatera B (NSB), Tengah, Ogan Komering, Sanga Sanga, Southeast Sumatera, East Kalimantan dan Blok Attaka.

Imam mengatakan nampaknya kondisi saat ini bukan lagi hanya sekadar menunjuk Pertamina EP untuk mengelola Lapangan Sukowati, namun ada pertimbangan lainnya yang tidak dibuka ke publik.

“Nampaknya memang diperlukan transparansi yang lebih baik dalam proses penunjukan ini agar tidak menjadi preseden yang berlanjut terus di masa depan,” tegas dia.

Imam mengatakan Kementerian ESDM seringkali kurang tegas dalam bersikap, tidak hanya di sektor migas tetapi juga di pertambangan seperti pada kasus PT Freeport Indonesia.

“Disini pemerintah sedang diuji sebenarnya. Ada permasalahan dalam transparansi dan akuntabilitas pada pengambilan kebijakan,” kata dia.(RA/RI)