JAKARTA – Pemerintah diminta segera menerbitkan regulasi yang mengatur pelaksanaan Enhance Oil Recovery (EOR), metode untuk meningkatkan produksi migas suatu lapangan. Beleid tersebut dibutuhkan untuk mempercepat pelaksanaan EOR.

Andang Bachtiar, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan pembuatan aturan main dalam pelaksanaan EOR sangat penting. Metode tersebut merupakan solusi alternatif untuk meningkatkan produksi minyak nasional.

Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tidak banyak yang melakukan metode EOR karena ketiadaan kepastian atau payung hukum. Apalagi pelaksanaan EOR yang membutuhkan dana besar itu baru akan dirasakan dampaknya pada 4 – 5 tahun setelah dijalankan.

“Kita harus move now. Permen EOR sedang diajukan dan ingin ditandatangani Juni. Pada IPA Covex didiskusikan, ternyata permen normatif, tidak mengarah ke EOR yang diharapkan mengalir,” kata Andang di Jakarta, Senin (12/6).

Keberadaan regulasi EOR penting. Apalagi mekanisme EOR sudah terbukti, seperti yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia dan PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero). EOR juga sudah menjadi bagian dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 – 2050 sebagai pendongkrak produksi minyak sebagai antisipasi minimnya produksi dari lapangan baru.

Data Indonesia Petroleum Association  menunjukkan saat ini baru ada beberapa lapangan tambahan yang memasuki tahapan uji coba metode EOR, seperti lapangan Kaji, Widuri, Minas, Tanjung dan Limau dengan total potensi produksi sebesar 105.250 barel per hari (bph).

Pemerintah dengan EOR menargetkan meningkatkan reserve replacement ratio temuan cadangan terhadap produksi hingga 100% dibanding saat ini hanya sekitar 60%. Bahkan, pada 2050 ditargetkan bisa ditemukan 2,5 miliar barel cadangan minyak yang bisa dipulihkan dengan EOR.

IGN Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan hingga saat ini beleid EOR masih dalam pembahasan intensif.

Pelaksanaan EOR dijadikan sebagai salah saru strategi pemerintah dalam menjaga produksi minyak nasional.  “Untuk jangka pendek kita berharap pada well service atau perawaran sumur. EOR ini untuk jangka menengah,” kata dia.

Menurut Wiratmaja, ada kajian untuk bisa mewajibkan EOR bagi KKKS yang ingin melakukan kegiatan di Indonesia, hanya saja hal itu terbentur dengan kondisi setiap lapangan migas yang berbeda-beda terlebih biaya melakukan EOR tidaklah sedikit.

Salah satu poin utama yang diperdebatkan adalah terkait siapa yang akan menanggung risiko dari kegiatan EOR.

“Disitu ada penanggung risk siapa, biaya EOR dikeluarkan kalau tidak menghasilkan siapa yang menaggung nanti. Jadi akan kita buat bagaimana sharing risk ini seimbang,” ungkap Wiratmaja.

Salah satu kegiatan EOR yang sedang giat dilakukan adalah dengan menggunakan metode steam up atau menyemburkan gas uap di lapisan batuan yang mengandung hidro karbon.
Wiratmaja mengatakan tidak semua metode bisa diterapkan karena itu regulasi EOR harus mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi KKKS jika memang melakukan EOR.

“Sudah pasti berhasil pakai uap steam nah ada lagi next CO2, sulfaktan di beberapa tempat kadang berhasil kadang tidak, ini yang akan diatur pelaksanannya nanti,” tandas Wiratmaja.(RI)